Bunga di Musim Dingin **

Udara dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari bandara Sheremetyevo. Moskow, kota yang selama ini hanya kulihat di film, kini nyata di depan mataku. Aku, Anya, 15 tahun, bersama tiga sahabatku, menjelajahi kota ini dengan rasa penasaran yang membuncah. Seminggu di Rusia, sebuah petualangan yang tak terlupakan. Kami menjelajahi Kremlin, mengagumi keindahan arsitektur St. Basil's Cathedral, dan menikmati suasana hangat di kafe-kafe kecil di pinggiran kota. Setiap hari dipenuhi dengan tawa, cerita, dan pengalaman baru. Namun, di balik semua keceriaan itu, ada satu rahasia yang kusembunyikan. Rahasia yang membuat jantungku berdebar kencang setiap kali aku mengingat kejadian di malam itu. Malam di mana aku bertemu dengan Dimitri, seorang pemuda Rusia yang menawan dengan mata biru yang dalam. Dimitri, dengan senyumnya yang menawan dan bahasa Inggrisnya yang fasih, mengajakku berdansa di sebuah klub malam. Aku, yang biasanya pendiam dan pemalu, merasa terpesona olehnya. Malam itu, diiringi alunan musik yang menghentak, kami berdansa hingga larut malam. Aku tak menyangka, malam itu akan menjadi malam yang mengubah hidupku. Saat aku kembali ke Indonesia, tubuhku terasa aneh. Perutku terasa kembung, dan siklus menstruasiku terlambat. Rasa takut mulai menggerogoti hatiku. Aku mencoba menepisnya, berharap itu hanya kelelahan akibat perjalanan panjang. Namun, saat aku melakukan tes kehamilan di kamar mandi, dua garis merah muncul di layar. Tanganku gemetar. Air mata mengalir deras di pipiku. Aku hamil. Bagaimana bisa? Aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Aku masih terlalu muda, masih banyak mimpi yang ingin kukejar. Rasa takut dan panik mencengkeramku. Aku tak berani menceritakannya kepada siapa pun, terutama kepada ibuku. Aku tahu, dia akan sangat kecewa. Aku mencoba menjalani hidup seperti biasa, menyembunyikan rahasia ini dalam hati. Namun, semakin hari, perutku semakin membesar. Rahasia ini semakin sulit disembunyikan. Suatu pagi, ibuku melihatku muntah di kamar mandi. Matanya menatapku dengan penuh tanya. "Anya, kamu kenapa?" tanyanya dengan suara lembut. Aku menunduk, tak berani menatap matanya. "Aku... aku hamil, Bu," bisikku. Ibu menatapku dengan mata terbelalak. Air mata mengalir di pipinya. "Hamil? Bagaimana bisa?" tanyanya dengan suara bergetar. Aku tak bisa menjawab. Aku hanya bisa menangis. Ibu memelukku erat. "Tenang, Anya. Kita akan menghadapi ini bersama," katanya. Namun, di balik kata-kata penghiburannya, aku bisa merasakan kekecewaan di matanya. Aku tahu, ini adalah kesalahan besar. Kesalahan yang akan mengubah hidupku selamanya. Aku harus bertanggung jawab atas perbuatan ini. Aku harus menjadi ibu yang baik untuk anakku, meskipun aku sendiri masih anak-anak. Aku harus belajar untuk dewasa, untuk menghadapi kenyataan pahit ini. Aku harus kuat. Aku harus menjadi bunga yang mekar di musim dingin, meskipun dinginnya menusuk tulang. Bersambung...**