Sistem Pemerintahan Indonesia pada Masa Awal Kemerdekaa

Sistem pemerintahan Indonesia pada masa awal kemerdekaan mengalami perjalanan yang panjang dan penuh perdebatan. Salah satu hasil penting dari sidang kedua PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 dan 12 September 1946 adalah pembentukan kabinet presidensial. Namun, pada tahun 1945, Indonesia menerapkan sistem parlementer, yang merupakan hasil dari perdebatan yang intens di antara anggota-anggota pemerintahan. Perdebatan tersebut dimulai pada Oktober 1945, ketika lembaga bantu dan penasehat presiden, yaitu KNIP, mengadakan sidang pertamanya. Sidang ini menghasilkan petisi Sutan Syahri, yang berisi desakan perubahan sistem pemerintahan dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer. Syahrir percaya bahwa sistem presidensial terlalu besar dan tidak cocok untuk kondisi Indonesia yang beragam ideologi, paham, dan pandangan politik. Selain itu, ia juga menganggap bahwa kekuasaan presiden yang terlalu besar bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan mengkhianati UUD 1945 Pasal 28 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dan pendapat. Langkah pertama Syahrir dalam menciptakan sistem parlementer adalah membentuk dan memperkuat lembaga legislatif, yang merupakan pusat kekuasaan dalam sistem parlementer. Namun, pada saat itu, belum ada DPR atau MPR, sehingga ia bermaksud meningkatkan fungsi KNIP sebagai badan legislatif. Pokok perdebatan utama dalam sidang pertama KNIP adalah menyangkut wewenang KNIP. Setelah berdebat, KNIP berhasil merekomendasikan perluasan tugas dan wewenangnya melalui Wakil Presiden Nomor X (baca: nomor eks) Tertanggal 16 Oktober 1945. Isi maklumat sebelum terbentuknya MPR adalah "Bahwa KNIP #".