Studi Komparatif Pendapat Ulama tentang Pelaksanaan Salat Sunah Rawatib
Salat sunah rawatib merupakan amalan ibadah yang memiliki kedudukan penting dalam agama Islam. Salat-salat ini mengiringi salat fardu, baik sebelum maupun sesudahnya, dan dipandang sebagai penyempurna salat wajib. Meskipun terdapat kesepakatan mengenai keutamaan salat sunah rawatib, namun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai beberapa aspek pelaksanaannya. Perbedaan pandangan ini mencerminkan kekayaan khazanah intelektual Islam dan memberikan ruang bagi umat untuk mendalami dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan pemahaman mereka.
Dalil Pensyariatan Salat Sunah Rawatib
Salah satu pokok perbedaan pendapat ulama terkait salat sunah rawatib adalah dalil pensyariatannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa salat sunah rawatib hukumnya sunah muakkadah, berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits-hadits tersebut menyebutkan secara rinci jumlah rakaat dan waktu pelaksanaan salat sunah rawatib, baik yang qabliyah (sebelum salat fardu) maupun ba’diyah (setelah salat fardu). Pendapat ini, misalnya, dipegang oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Di sisi lain, sebagian ulama lain berpendapat bahwa salat sunah rawatib hukumnya sunah ‘adiyah, bukan sunah muakkadah. Mereka mendasarkan pandangan ini pada hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak selalu melaksanakan salat sunah rawatib. Meskipun hadits-hadits yang menganjurkan salat sunah rawatib shahih, namun terdapat juga riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi SAW terkadang meninggalkannya karena suatu udzur. Ulama yang berpendapat demikian, antara lain, Imam Abu Hanifah.
Jumlah Rakaat Salat Sunah Rawatib
Perbedaan pendapat ulama juga terjadi dalam hal jumlah rakaat salat sunah rawatib. Misalnya, mengenai salat sunah qabliyah subuh, terdapat dua pendapat utama. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa salat sunah qabliyah subuh adalah dua rakaat. Pendapat ini didasarkan pada hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan bahwa Nabi SAW salat dua rakaat ringan sebelum salat subuh. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa salat sunah qabliyah subuh lebih utama dikerjakan sebanyak empat rakaat. Pendapat ini didasarkan pada hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang lain, yang menyebutkan bahwa Nabi SAW salat empat rakaat sebelum subuh.
Perbedaan jumlah rakaat juga terjadi pada salat sunah rawatib lainnya, seperti salat sunah ba’diyah maghrib. Sebagian ulama berpendapat bahwa salat sunah ba’diyah maghrib lebih utama dikerjakan dua rakaat, sementara sebagian yang lain berpendapat lebih utama empat rakaat. Perbedaan pendapat ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang berbeda mengenai amalan Nabi SAW.
Waktu Pelaksanaan Salat Sunah Rawatib
Waktu pelaksanaan salat sunah rawatib juga menjadi salah satu poin perbedaan pendapat di kalangan ulama. Misalnya, mengenai waktu pelaksanaan salat sunah qabliyah zuhur, terdapat perbedaan pendapat tentang apakah salat tersebut lebih utama dikerjakan setelah azan atau setelah iqamah. Sebagian ulama berpendapat bahwa salat sunah qabliyah zuhur lebih utama dikerjakan setelah azan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sementara itu, sebagian ulama lain berpendapat bahwa salat sunah qabliyah zuhur lebih utama dikerjakan setelah iqamah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaan salat sunah rawatib juga terjadi pada salat-salat sunah rawatib lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ruang ijtihad dalam menentukan waktu pelaksanaan salat sunah rawatib, dengan tetap berpegang pada dalil-dalil yang sahih.
Studi komparatif terhadap perbedaan pendapat ulama tentang pelaksanaan salat sunah rawatib memberikan gambaran yang jelas tentang keluasan dan fleksibilitas ajaran Islam. Perbedaan pendapat ini tidak perlu dipandang sebagai sumber perpecahan, melainkan sebagai kekayaan khazanah intelektual yang memperkaya pemahaman umat Islam. Yang terpenting adalah setiap muslim berusaha untuk mendalami dalil-dalil dan memilih pendapat yang paling kuat dan rajih menurut pemahamannya, dengan tetap menghormati pendapat ulama lainnya. Wallahu a’lam.