Perkembangan dan Kemunduran Kerajaan Samudera Pasai serta Kesultanan Aceh Darussalam
Kerajaan Samudera Pasai adalah salah satu kerajaan maritim yang pernah berjaya di Nusantara. Namun, kerajaan ini mengalami kemunduran yang disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah ambisi Kerajaan Majapahit yang ingin menyatukan Nusantara. Pada tahun 1339 M, Patih Majapahit Gajah Mada mencoba untuk menaklukkan Kerajaan Samudera Pasai, tetapi upaya tersebut belum berhasil. Selain itu, berdirinya Bandar Malaka yang memiliki lokasi yang lebih strategis juga menjadi faktor kemunduran Kerajaan Samudera Pasai. Kemudian, pada tahun 1514 M, Kesultanan Aceh Darussalam berdiri di ujung utara Pulau Sumatra. Kesultanan Aceh Darussalam memiliki sejarah yang kaya, seperti yang tercatat dalam Kitab Bustanussalatin yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri pada tahun 1637 M. Selain itu, hadiah berupa genta perunggu Cakra Donya dari kaisar Cina untuk sultan Aceh, Gunongan di bekas Taman Ghairah Kesultanan Aceh, makam sultan-sultan Aceh di Banda Aceh, dan Masjid Raya Baiturrahman yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda juga menjadi sumber sejarah mengenai Kesultanan Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh berkembang pesat sebagai kerajaan Islam yang besar. Hal ini tidak terlepas dari letak Aceh yang strategis di Pulau Sumatra bagian utara, dekat dengan jalur pelayaran dan perdagangan internasional pada saat itu. Beberapa faktor yang mendukung perkembangan Kerajaan Aceh adalah letak ibu kota Aceh yang strategis sebagai pintu gerbang pelayaran dari India dan Timur Tengah menuju Malaka, Cina, atau Jawa. Pelabuhan Aceh yang memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang, kekayaan daerah Aceh dengan tanaman lada sebagai dagangan ekspor yang penting, serta banyaknya pedagang Islam yang singgah di Aceh setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Pemerintahan di Aceh terbagi menjadi pemerintahan sipil dan pemerintahan atas dasar agama. Pemerintahan sipil dipimpin oleh kaum bangsawan, dengan setiap kampung (gampong) dipimpin oleh seorang ulebalang. Beberapa gampong digabung menjadi sagi yang dipimpin oleh seorang panglima sagi. Pemerintahan atas dasar agama dilakukan dengan menyatukan beberapa gampong dengan sebuah masjid yang disebut mukim, yang dipimpin oleh seorang imam. Kaum ulama yang berkuasa dalam bidang keagamaan disebut dengan teungku. Beberapa raja yang pernah memerintah di Kesultanan Aceh Darussalam antara lain Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Salahuddin, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, Sultan Iskandar Muda, dan Sultan Iskandar Thani. Pada tahun 1528, Kesultanan Aceh berencana untuk menyerang Portugis di Malaka, tetapi rencana tersebut tidak terlaksana karena wafatnya Sultan Ali Mughayat Syah. Dengan demikian, perkembangan Kerajaan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam memiliki perjalanan yang menarik, dengan faktor-faktor yang mempengaruhi baik dalam kemunduran maupun perkembangan kedua kerajaan tersebut.