Mengatasi Mentalitas Inlander dalam Sistem Pendidikan di Indonesi
Mentalitas Inlander adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sikap rendah diri yang dimiliki oleh orang pribumi di Indonesia. Istilah ini berasal dari bahasa Belanda dan menggambarkan pandangan negatif terhadap diri sendiri, di mana orang pribumi merasa lebih rendah daripada bangsa lain, terutama bangsa Barat. Mentalitas ini menyebabkan orang Indonesia lupa akan potensi besar yang dimiliki dan selalu bergantung pada bangsa lain yang dianggap lebih hebat dan beradab. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan mentalitas inlander adalah sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda pada abad ke-18. Pada awalnya, sistem pendidikan ini bersifat segregatif, dengan adanya sekolah khusus untuk orang Belanda, orang keturunan Tionghoa, dan orang pribumi. Namun, dengan adanya politik etis pada akhir abad ke-19, sistem pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Politik etis menghasilkan berbagai jenis sekolah baru di semua jenjang pendidikan. Sekolah dasar terdiri dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pertama terdiri dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan sekolah menengah atas terdiri dari Algemeene Middelbare School (AMS). Selain itu, ada juga sekolah kejuruan seperti Pleidengschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) dan sekolah kejuruan medis seperti School Tot kejuruan medis Inlandsche Artsen (STOVIA) dan Nederlandsch-Indische Artssenschool. Meskipun perkembangan sistem pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia, namun masih terdapat pengaruh negatif terhadap mentalitas inlander. Sistem pendidikan yang segregatif pada awalnya telah memperkuat pemisahan antara orang Belanda, orang keturunan Tionghoa, dan orang pribumi. Hal ini menyebabkan orang pribumi merasa lebih rendah dan kurang dihargai dalam konteks pendidikan. Untuk mengatasi mentalitas inlander dalam sistem pendidikan di Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah yang berfokus pada pemberdayaan dan penghargaan terhadap potensi dan keberagaman bangsa Indonesia. Diperlukan pendekatan pendidikan yang inklusif, di mana semua siswa, tanpa memandang latar belakang etnis atau sosial, diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang dan mengeksplorasi potensi mereka. Selain itu, perlu juga adanya kurikulum yang mencerminkan nilai-nilai kebangsaan dan menghargai keberagaman budaya di Indonesia. Kurikulum harus mengajarkan siswa tentang sejarah dan budaya bangsa mereka sendiri, sehingga mereka dapat menghargai dan bangga dengan identitas mereka sendiri. Selain itu, peran guru juga sangat penting dalam mengatasi mentalitas inlander. Guru harus menjadi fasilitator pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, mengembangkan kepercayaan diri, dan menghargai keberagaman. Guru juga harus memberikan contoh positif dengan menghargai dan mengakui potensi setiap siswa. Dalam mengatasi mentalitas inlander, perlu diingat bahwa perubahan tidak akan terjadi dalam semalam. Diperlukan upaya yang berkelanjutan dan kolaboratif dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, guru, dan masyarakat. Dengan mengatasi mentalitas inlander dalam sistem pendidikan, kita dapat menciptakan generasi yang percaya diri, berdaya saing, dan bangga dengan identitas mereka sebagai bangsa Indonesia.