Syarat-syarat dan Hukum dalam Akad Ijarah
Akad ijarah adalah salah satu bentuk akad muamalah dalam hukum Islam yang melibatkan penyewaan atau penggunaan barang atau jasa dengan imbalan tertentu. Dalam akad ijarah, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, yaitu mujir dan musta'ji. Selain itu, terdapat juga beberapa hal yang dapat menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Selanjutnya, akan dijelaskan pengertian jarah 'ala al-maI dan hukumnya. Pada bagian terakhir, akan dianalisis sebuah contoh kasus mengenai akad muamalah dalam akad ijarah dan kewajiban majikan terhadap buruh. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mujir dan musta'ji dalam akad ijarah adalah sebagai berikut. Pertama, mujir harus memiliki hak kepemilikan atas barang atau jasa yang akan disewakan. Hal ini penting agar akad ijarah dapat dilakukan dengan sah. Kedua, musta'ji harus memiliki kebutuhan yang sah dan halal terhadap barang atau jasa yang akan disewa. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan yang diperbolehkan dalam agama Islam dan tidak bertentangan dengan hukum syariah. Ketiga, imbalan atau harga sewa yang disepakati harus jelas dan tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Harga sewa yang ditetapkan harus wajar dan sebanding dengan nilai barang atau jasa yang disewakan. Selain syarat-syarat tersebut, terdapat juga beberapa hal yang dapat menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Pertama, berakhirnya masa sewa yang telah ditentukan dalam akad. Jika masa sewa telah habis, maka akad ijarah dianggap berakhir. Kedua, rusaknya barang yang disewakan sehingga tidak dapat digunakan lagi. Jika barang yang disewakan mengalami kerusakan yang signifikan, maka akad ijarah dianggap berakhir. Ketiga, adanya perubahan keadaan yang menyebabkan tidak mungkin lagi untuk melanjutkan akad ijarah. Misalnya, jika musta'ji meninggal dunia atau mujir tidak lagi memiliki hak kepemilikan atas barang yang disewakan. Pengertian jarah 'ala al-maI adalah pengambilan keuntungan atau manfaat dari barang atau jasa yang disewakan tanpa memberikan imbalan yang wajar kepada mujir. Hukum jarah 'ala al-maI dalam Islam adalah haram. Hal ini berarti bahwa musta'ji tidak boleh mengambil keuntungan yang tidak wajar atau melebihi dari yang telah disepakati dalam akad ijarah. Musta'ji harus memberikan imbalan yang adil dan sebanding dengan nilai barang atau jasa yang disewakan. Sebagai contoh, dalam kasus yang disebutkan di atas, terdapat akad muamalah antara Bu Afifah dan tetangganya yang memiliki mobil. Bu Afifah ingin menggunakan mobil tersebut untuk membawa bayinya ke rumah sakit karena bayinya mengalami kejang-kejang. Suami Bu Afifah meminta izin untuk menggunakan mobil tersebut dengan memberikan imbalan uang kepada tetangganya. Dalam hal ini, akad yang terjadi adalah akad ijarah, di mana mobil disewakan oleh tetangga kepada Bu Afifah dengan imbalan uang. Hukum akad ijarah dalam kasus ini adalah sah, karena syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya telah terpenuhi. Mujir, yaitu tetangga Bu Afifah, memiliki hak kepemilikan atas mobil yang disewakan. Musta'ji, yaitu Bu Afifah, memiliki kebutuhan yang sah dan halal untuk menggunakan mobil tersebut. Selain itu, imbalan uang yang diberikan oleh Bu Afifah kepada tetangganya juga telah disepakati sebelumnya. Sebagai majikan, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi terhadap buruh. Pertama, majikan harus memberikan upah yang adil dan sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh.