Representasi Maskulinitas dalam Novel Pulang: Sebuah Kajian Sastra
Perjalanan pulang tidak selalu tentang jarak, terkadang tentang menemukan kembali kepingan diri yang hilang. Dalam novel "Pulang", Leila S. Chudori merangkai kepulangan tokoh utama, Dimas Suryo, ke Indonesia setelah pelarian panjang akibat tragedi 1965. Kepulangan ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga menyelami masa lalu kelam dan berhadapan dengan konstruksi maskulinitas yang mengakar dalam dirinya.
Luka Masa Lalu dan Krisis Maskulinitas
Dimas, dibesarkan dalam bayang-bayang ayahnya, seorang jurnalis pemberani, dituntut menjadi lelaki kuat dan tak kenal takut. Ia dihadapkan pada realitas pahit pengkhianatan dan kekerasan yang merenggut keluarga dan tanah airnya. Peristiwa 1965 menorehkan luka mendalam, memaksanya hidup dalam pengasingan dan menanggalkan identitas lamanya. Kehilangan, trauma, dan rasa bersalah membentuk jurang pemisah antara Dimas dengan maskulinitas ideal yang selama ini diyakininya.
Stereotipe Maskulin dalam Bayang-bayang Trauma
Di negeri asing, Dimas berjuang membangun kembali hidupnya. Ia mengadopsi nama samaran, menikah, dan menjadi fotografer perang. Pilihan profesi ini, meski tampak sebagai manifestasi keberanian, justru mempertanyakan konstruksi maskulinitas yang selama ini dipegangnya. Ia menyaksikan kengerian perang, bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai saksi bisu yang merekam kepedihan. Dimas terjebak dalam paradoks, di satu sisi ia ingin memenuhi ekspektasi sebagai lelaki tangguh, di sisi lain ia dihadapkan pada kerapuhan dan ketidakberdayaan manusia di tengah konflik.
Dekonstruksi Maskulinitas: Menemukan Kembali Jati Diri
Pertemuan Dimas dengan generasi muda Indonesia, khususnya mereka yang kritis terhadap sejarah, menjadi titik balik penting. Ia dihadapkan pada perspektif baru tentang maskulinitas, yang tidak melulu tentang kekuatan fisik atau keberanian semu. Dimas belajar bahwa empati, kejujuran, dan keberanian mengakui kesalahan justru merupakan kekuatan sejati. Proses rekonsiliasi masa lalu dan penerimaan diri memungkinkan Dimas melepaskan diri dari belenggu maskulinitas toksik yang selama ini membatasi dirinya.
Kepulangan Dimas ke Indonesia menjadi metafora perjalanan batin dalam memaknai kembali maskulinitas. Ia belajar bahwa menjadi laki-laki bukanlah tentang memenuhi stereotip yang dipaksakan, melainkan tentang menerima diri seutuhnya dengan segala kompleksitasnya. "Pulang" mengajak pembaca untuk merefleksikan konstruksi maskulinitas dalam konteks sejarah dan budaya, serta menawarkan perspektif baru tentang arti menjadi laki-laki sejati.