Polemik RUU Cipta Kerja: Dampak dan Protes Masyarakat
Sejak awal tahun 2020, RUU Cipta Kerja atau yang dikenal juga sebagai omnibus law telah menjadi perdebatan hangat di kalangan buruh di Indonesia. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPT), Said Igbal, menyoroti beberapa dampak buruk dari omnibus law ini, seperti jam kerja lembur yang tidak diatur dengan baik, berkurangnya kompensasi pesangon, fleksibilitas pasar kerja yang berpotensi merugikan pekerja, dan meluasnya praktik outsourcing untuk semua jenis pekerjaan. Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBD), Ilhamsyah, juga menolak pasal-pasal ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Menurutnya, RUU ini akan meningkatkan jumlah PHK massal dan semakin menurunkan kesejahteraan masyarakat. Ilhamsyah melihat bahwa proses pembahasan omnibus law ini mengarah pada penghapusan atau penurunan besaran pesangon, pengupahan, dan mengurangi peran sistem ketenagakerjaan dalam perundingan antara pengusaha dan buruh di tempat kerja. Dia yakin bahwa perubahan yang akan dilakukan terhadap ketentuan pesangon akan menciptakan banyak PHK massal. Tidak hanya substansi dari RUU Cipta Kerja yang menjadi sorotan, tetapi juga proses pembentukannya yang dinilai tidak partisipatif oleh masyarakat sipil. Ketua Umum Kasbi, Nining Elitos, mengecam tindakan pemerintah yang mencatut nama organisasinya sebagai salah satu dari 14 serikat pekerja yang masuk dalam "Tim Koordinasi Pembahasan dan Sosialisasi Publik Substansi Ketenagakerjaan". Kasbi, yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), sejak awal menolak omnibus law ini karena proses penyusunannya yang dianggap cacat dan tidak demokratis. Nining menegaskan bahwa tindakan ini melanggar asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 12 Tahun 2011. Koordinator Departemen Pendidikan KSN, Novri Auliansyah, juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan diam-diam dalam menyusun RUU Cipta Kerja dan tidak melibatkan masyarakat yang bakal terdampak, seperti buruh, petani, nelayan, dan masyarakat hukum adat. Menurutnya, RUU ini hanya akan mendatangkan investor buruk yang akan mengeksploitasi sumber daya alam, melegalkan upah murah, sementara hukuman bagi pengusaha nakal hanya berupa sanksi administratif. Polemik RUU Cipta Kerja ini juga mendapat perhatian dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, mencatat bahwa meskipun pandemi belum berakhir dan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih berlaku di sebagian besar daerah, pemerintah tetap melanjutkan proses pembahasan RUU ini tanpa melibatkan masyarakat yang terdampak. Dewi Kartika menyoroti bahwa RUU ini berpotensi merugikan petani dan masyarakat hukum adat, serta membuka peluang bagi eksploitasi sumber daya alam yang lebih besar. Polemik RUU Cipta Kerja ini terus berlanjut, dengan adanya protes dan penolakan dari berbagai pihak. Dampak dan implikasi dari omnibus law ini masih menjadi perdebatan yang kompleks dan membutuhkan pemahaman yang mendalam.