Makna Filosofis Surya dalam Sastra Jawa Kuno
Matahari, sumber cahaya dan kehidupan, telah menjadi objek kekaguman dan pemujaan lintas budaya selama berabad-abad. Dalam sastra Jawa Kuno, surya memegang makna filosofis yang mendalam, melampaui sekadar entitas fisik di langit. Ia menjelma menjadi simbol multitafsir yang memperkaya narasi dan ajaran moral dalam karya-karya sastra.
Cahaya Ilahi yang Menyinari Jagat
Sastra Jawa Kuno kerap mengaitkan surya dengan kekuatan ilahi. Ia dianggap sebagai manifestasi dewa matahari, seperti Batara Surya atau Aditya, yang memberikan cahaya, kehangatan, dan kehidupan bagi seluruh makhluk. Kehadiran surya dalam teks-teks kuno seringkali menandai pencerahan spiritual, kebijaksanaan, dan penyingkapan kebenaran.
Dalam Serat Centhini, misalnya, perjalanan spiritual tokoh utama digambarkan sebagai pencarian cahaya surya. Pertemuan dengan tokoh-tokoh bijak dan penemuan ilmu pengetahuan disimbolkan dengan semakin terangnya cahaya surya yang menyinari jalan mereka. Surya, dalam konteks ini, menjadi metafora untuk pencerahan batin dan pemahaman akan hakikat kehidupan.
Simbol Raja dan Keadilan
Selain sebagai representasi kekuatan ilahi, surya dalam sastra Jawa Kuno juga melambangkan raja dan konsep keadilan. Seperti halnya surya yang menyinari seluruh alam tanpa pandang bulu, seorang raja yang adil diharapkan mampu memerintah dengan bijaksana dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Kakawin Ramayana, misalnya, menggambarkan Raja Rama sebagai titisan Wisnu yang memancarkan cahaya surya. Kehadirannya membawa kedamaian dan kemakmuran bagi kerajaan Ayodya. Sebaliknya, ketiadaan Rama saat diculik Rahwana digambarkan dengan meredupnya cahaya surya, menandakan kekacauan dan ketidakadilan yang melanda kerajaan.
Siklus Kehidupan dan Kematian
Peredaran surya dari timur ke barat setiap harinya juga dimaknai sebagai simbol siklus kehidupan dan kematian dalam sastra Jawa Kuno. Terbitnya surya di ufuk timur diibaratkan dengan kelahiran, sementara terbenamnya di barat melambangkan kematian.
Konsep ini tercermin dalam berbagai mitos dan legenda, seperti kisah Dewi Ratih dan Batara Kala. Perburuan Batara Kala terhadap Ratih yang terus berulang dimaknai sebagai siklus siang dan malam, sekaligus pengingat akan kefanaan hidup dan pentingnya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Sastra Jawa Kuno, dengan kekayaan simbolismenya, menempatkan surya sebagai elemen penting yang memperkaya makna narasi. Ia bukan sekadar objek langit, melainkan representasi kompleks dari kekuatan ilahi, keadilan, dan siklus kehidupan. Melalui penggambaran surya, karya-karya sastra ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai luhur dan makna kehidupan yang hakiki.