Konflik Perkebunan Kelapa Sawit dan Masyarakat Dayak di Kabupaten Kotawaringin Timur
Konflik antara perkebunan kelapa sawit dan masyarakat Dayak di Kabupaten Kotawaringin Timur telah menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir. Konflik ini terkait dengan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam tata kelola sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Menurut Imam Syaffi dalam tulisannya di Jurnal Masyarakat dan Budaya (2016), sistem tata kelola SDA di Indonesia memiliki kelemahan yang signifikan. Negara cenderung memfasilitasi ekspansi perusahaan perkebunan sawit yang bersifat ekstraktif, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan marginalisasi masyarakat lokal. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang cepat dan marginalisasi kelompok masyarakat. Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah telah dimulai sejak era Orde Baru pada tahun 1993. Pemerintah Orde Baru memfasilitasi perusahaan perkebunan sawit melalui Undang-Undang No. 1/1968 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Setelah Orde Baru tumbang, otonomi daerah diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999. Hal ini memberikan peluang bagi daerah untuk terlibat dalam pengelolaan SDA. Namun, peluang ini juga memunculkan konflik agraria karena tumpang tindihnya berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pada tahun 2009, pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Minerba yang memberikan peluang bagi daerah dalam pengelolaan SDA mereka. Namun, dalam praktiknya, hal ini memunculkan masalah baru, terutama tumpang tindihnya berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, konflik agraria di Kabupaten Kotawaringin Timur meningkat. Data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menunjukkan bahwa konflik agraria di Kabupaten Kotawaringin Timur mencapai 37 persen dari total konflik di Kalimantan Tengah pada tahun 2014. Konflik ini terjadi dalam empat fase, yaitu fase normatif terkait izin lokasi dan prinsip perkebunan, fase pembangunan perkebunan yang tidak seimbang dalam kerjasama dengan masyarakat, fase konflik terkait keberlanjutan perkebunan, dan fase produksi yang melibatkan pemotongan oleh perusahaan terhadap petani. Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terlibat dalam konflik ini adalah PT Bumi Sawit Kencana, PT Bangkit Giat Usaha Mandiri, dan PT Windu Nabatindo Seiahtera. Konflik ini melibatkan masyarakat adat Dayak yang tergabung dalam Koordinasi Kelompok Tani "Dayak Mislk" Kalimantan Tengah (FKKTDM-KT). Dalam melihat kasus-kasus konflik ini, dapat dilihat bahwa respons masyarakat adat Dayak yang tergabung dalam FKKTDM-KT merupakan upaya mereka untuk terus memperbaharui strategi dalam menghadapi perusahaan besar dan juga negara. Respons ini dapat dilihat sebagai bentuk upaya mereka untuk melindungi hak-hak mereka dan memperjuangkan keberlanjutan lingkungan hidup. Dalam kesimpulan, konflik antara perkebunan kelapa sawit dan masyarakat Dayak di Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan hasil dari tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam tata kelola SDA. Konflik ini memunculkan masalah lingkungan dan marginalisasi masyarakat lokal. Masyarakat adat Dayak terus berjuang untuk melindungi hak-hak mereka dan memperjuangkan ke