Kebijakan Pendidikan di Jepang pada Masa Pendudukan
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang menerapkan beberapa kebijakan dalam bidang pendidikan. Kebijakan-kebijakan ini didasarkan pada tiga prinsip utama yang meliputi penataan kembali pendidikan, peningkatan peran guru, dan penghapusan pengaruh Belanda di sekolah. Penataan kembali pendidikan merupakan salah satu kebijakan utama yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Tujuan dari penataan ini adalah untuk mempermudah pengawasan dan koordinasi dalam setiap jenjang pendidikan. Jepang mengelompokkan sekolah menjadi dua bagian utama, yaitu sekolah umum dan sekolah guru. Sekolah umum terdiri dari beberapa jenis, seperti Sekolah Rakyat (Kokumin Gakko) atau sekolah dasar yang terbuka untuk umum dan semua golongan. Selain itu, ada juga Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakko) dengan lama pendidikan 3 tahun, Sekolah Menengah Tinggi (Koto Chu Gakko) dengan lama pendidikan 3 tahun yang memiliki pengajaran umum dan ditujukan untuk melanjutkan ke tahap sekolah tinggi, serta Sekolah Kejuruan yang mencakup berbagai bidang seperti pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. Terakhir, ada juga perguruan tinggi seperti Sekolah Kedokteran Tinggi (lka Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Ahli Obat (Yaku Gakko) di Jakarta, Sekolah Kedokteran Gigi (Shika Gakko) di Surabaya, dan Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor. Sekolah guru juga merupakan bagian penting dalam penataan pendidikan. Sekolah guru terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Sekolah Guru 2 tahun (Shoto Shihan Gakko), Sekolah Guru 4 tahun (Cuto Shihan Gakko), dan Sekolah Guru 6 tahun (Koto Shihan Gakko). Peningkatan peran guru menjadi fokus utama dalam kebijakan ini. Guru dianggap memiliki peran penting dalam menentukan dan mencapai sasaran pendidikan, sehingga mereka harus dididik terlebih dahulu. Pemerintah Jepang menyelenggarakan kursus-kursus untuk para guru, di mana mereka belajar dan kemudian menyampaikan hasil belajar tersebut kepada murid dan masyarakat di daerah masing-masing. Selain itu, pemerintah pendudukan Jepang juga berusaha menghilangkan pengaruh Belanda di sekolah-sekolah di Indonesia. Hal ini dilakukan melalui berbagai cara, seperti melakukan pemeriksaan di berbagai daerah untuk mencari buku-buku Belanda yang masih digunakan. Buku-buku tersebut kemudian dimusnahkan atau disimpan oleh Jepang sebagai arsip penting. Selain itu, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan penggunaan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya dilarang. Hal ini mengakibatkan peranakan Cina kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chiao Tsung Hui. Dengan menerapkan kebijakan-kebijakan ini, pemerintah Jepang berusaha untuk mengatur dan mengarahkan pendidikan di Indonesia sesuai dengan kepentingan mereka pada masa pendudukan. Meskipun ada beberapa kontroversi terkait kebijakan ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia pada masa itu.