Perkembangan Peradaban Mesir dan Babilonia pada Milenium ke-3 SM
Pada penghujung milenium ke-4 SM dan awal milenium ke-3 SM, para raja membangun piramid di Mesir. Namun, setelah masa ini, peradaban Mesir mengalami pendangkalan dan konservatisme agama yang menghambat kemajuannya. Pada sekitar tahun 1800 SM, Mesir ditaklukkan oleh suku bangsa Semit bernama Hyksos, yang kemudian menguasai negeri tersebut selama dua abad. Meskipun mereka tidak meninggalkan bekas permanen di Mesir, keberadaan mereka telah mendorong perkembangan peradaban Mesir di wilayah Siria dan Palestina. Di sisi lain, Babilonia mengalami perkembangan yang lebih kaya akan peperangan. Pada awalnya, ras penguasa bukanlah Semit, tetapi "Summeria", yang asal-usulnya tidak diketahui dengan pasti. Mereka menciptakan abjad paku (cuneiform) yang kemudian diambil alih oleh bangsa Semit yang menaklukkan mereka. Pada suatu periode, terdapat beberapa kota yang masing-masing berdiri sendiri dan saling memerang, namun akhirnya kota Babilon menjadi yang unggul dan membangun sebuah imperium. Dewa-dewa dari kota-kota lain diturunkan dari posisinya, sedangkan Marduk, dewa kota Babilon, menempati posisi yang mirip dengan yang nantinya dipegang oleh Zeus dalam mitologi Yunani. Fenomena serupa juga terjadi di Mesir pada masa yang jauh lebih awal. Agama bangsa Mesir dan Babilonia, seperti kepercayaan kuno lainnya, pada dasarnya berupa kultus kesuburan. Dalam kepercayaan ini, bumi dianggap sebagai betina dan matahari sebagai jantan. Lembu jantan juga dianggap sebagai perwujudan kesuburan, sehingga dewa-dewa lembu banyak dipuja. Di Babilon, Ishtar adalah dewi bumi yang paling dihormati di antara dewi-dewi lainnya. Di seluruh Asia Barat, Bunda Yang Agung dipuja dengan berbagai nama. Ketika bangsa Yunani yang menduduki Asia Kecil mendirikan kuil untuk memuliakannya, mereka menyebut dewi tersebut sebagai Artemis dan mengambil alih kultus yang telah ada. Inilah asal mula "Diana dewi bangsa Ephesus". Agama Kristen kemudian mengubahnya menjadi Maria Sang Perawan, dan gelar "Ibunda Tuhan" bagi Bunda Maria ditetapkan oleh Konsili Efesus. Ketika agama memiliki hubungan yang erat dengan pemerintahan suatu imperium, motif-motif politik memberikan banyak pengaruh dalam mengubah karakteristik primitif agama tersebut. Dewa atau dewi pun dikaitkan dengan politik.