Perkembangan Muhammadiyah di Luar Yogyakart
Pada tanggal 20 Desember 1912, KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar Muhammadiyah mendapatkan status badan hukum. Namun, permohonan tersebut baru dikabulkan pada tahun 1914 melalui Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Meskipun demikian, izin tersebut hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan Muhammadiyah hanya diperbolehkan bergerak di daerah tersebut. Pemerintah Hindia Belanda khawatir dengan perkembangan organisasi ini sehingga kegiatannya pun dibatasi. Namun, di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri, cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi hal ini, KH. Ahmad Dahlan menganjurkan agar cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta menggunakan nama lain, seperti Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan Ahmadiyah di Garut. Selain itu, di Solo juga berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat bimbingan dari cabang Muhammadiyah. Sebagai seorang demokrat dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah, KH. Ahmad Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin organisasi. Selama hidupnya dalam aktivitas dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota, yang di dalamnya dipakai istilah Algemeene. Dengan demikian, perkembangan Muhammadiyah di luar Yogyakarta terus berlanjut meskipun adanya pembatasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Melalui pendirian cabang-cabang dengan nama lain dan adanya perkumpulan seperti SATF di Solo, Muhammadiyah tetap dapat melaksanakan aktivitas dakwah dan memfasilitasi partisipasi anggota dalam proses evaluasi dan pemilihan pemimpin organisasi.