Evolusi Media Pendidikan: Dari Radio hingga Komputer
Periode Perang Dunia II Selama Perang Dunia II, Divisi Informasi dan Pendidikan Departemen Perang AS menginvestasikan dana dan tenaga kerja yang signifikan untuk pengembangan dan penggunaan "alat bantu audiovisual," terutama film 16mm, guna mendukung upaya "pelatihan massal cepat." Divisi ini juga berinvestasi dalam penelitian untuk merancang film yang lebih efektif dan bagaimana instruktur dapat memanfaatkan materi tersebut dengan lebih baik. Temuan ini digunakan selama perang untuk memandu praktik pelatih dalam menggunakan alat bantu audiovisual. Protokol pemanfaatan yang dikembangkan oleh Angkatan Laut AS, misalnya, cukup canggih dan diterima secara luas dalam program pelatihan guru setelah perang. Temuan ilmuwan sosial di Bagian Eksperimental Cabang Penelitian (Hovland, Lumsdaine, & Sheffield, 1949) juga dilaporkan setelah perang dan dibahas secara luas dalam aplikasi sipil serta digunakan sebagai dasar untuk penelitian akademis lebih lanjut. Periode Pendidikan Audiovisual Periode antara Perang Dunia II dan munculnya komputer pribadi pada tahun 1982 dapat dipandang sebagai periode pendidikan audiovisual. Di era ini, penelitian dan praktik teknologi pendidikan difokuskan pada desain dan penggunaan media analog, seperti gambar diam, slide, transparans overhead, rekaman audio, film, dan rekaman video, dalam proses belajar mengajar. Johnston (1987) memberikan sintesis ringkas dari temuan penelitian di bidang ini. Salah satu generalisasi yang dicapainya adalah bahwa bukan perangkat keras, tetapi perangkat lunak, yang berperan dalam pembelajaran: "Media elektronik adalah wahana yang melaluinya program diteruskan ke pelajar. Kita tidak dapat mengeksplorasi potensi media yang terlepas dari program yang dijalankan di dalamnya" (hlm 3). Tingkat penggunaan media audiovisual yang sebenarnya oleh guru K-12 selama era ini harus dicirikan sebagai sedang. Tingkat pemanfaatan sangat dipengaruhi oleh aksesibilitas. Guru cenderung menggunakan materi yang disimpan di ruang kelas mereka sendiri, agak kurang cenderung menggunakan materi yang disimpan di pusat di gedung mereka, dan bahkan lebih cenderung menggunakan barang-barang, terutama film 16mm, yang harus dikirim dari luar gedung secara terjadwal. Survei pada tahun 1940-an dan 1950-an menunjukkan bahwa sekitar 40% guru sekolah dasar dan 20% guru sekolah menengah menggunakan film "sering". Bukti dari berbagai sumber menunjukkan bahwa rata-rata guru menggunakan sekitar satu film per bulan (Cuban, 1986, hlm 14-18). Alasan rendahnya tingkat penggunaan film (dan media serupa) selain aksesibilitas adalah kurangnya pelatihan dengan teknologi peralatan proyeksi yang tidak dapat diandalkan, anggaran sekolah yang terbatas (untuk penyewaan film dan pembelian proyektor), dan kesulitan mengintegrasikan materi ke dalam kurikulum.