Bayangan di Balik Jam Malam **
** Jam malam. Dua kata yang selalu membuatku bergidik. Bukan karena takut pada kegelapan, tapi karena takut pada aturan yang membatasi kebebasan. Aku, Rio, seorang remaja yang hidup di kota ini, selalu merasa terkekang oleh jam malam yang diterapkan pemerintah. Aku bukan anak baik-baik. Aku dan gengku seringkali menghabiskan waktu di malam hari untuk mencari sensasi. Mencuri, tawuran, bahkan menghancurkan properti. Kami merasa bebas, tak terikat oleh aturan yang dianggap membosankan. Suatu malam, saat kami sedang asyik mencopet di pasar malam, tiba-tiba terdengar sirene polisi. Kami panik, berhamburan menyelamatkan diri. Aku terjatuh, kakiku terkilir. Gengku menghilang, meninggalkanku sendirian. Aku terbaring di pinggir jalan, kesakitan dan ketakutan. Saat itu, aku menyadari betapa bodohnya tindakan yang kulakukan. Aku bukannya bebas, tapi terjebak dalam lingkaran setan. Jam malam, yang dulu kuanggap sebagai penghalang, kini terasa seperti pelindung. Aku teringat pesan ibuku, "Jam malam bukan untuk membatasi, tapi untuk melindungi." Aku berjanji pada diri sendiri untuk berubah. Aku ingin menjadi anak yang baik, yang patuh pada aturan. Aku ingin merasakan kebebasan yang sesungguhnya, kebebasan dari rasa takut dan penyesalan. Malam itu, aku meringkuk di kamar, menahan rasa sakit. Aku menatap jam dinding, jarumnya menunjuk ke angka sepuluh. Jam malam. Tapi kali ini, aku merasakannya sebagai batas yang melindungi, bukan membatasi. Aku tahu, jalan menuju perubahan tidak mudah. Tapi aku bertekad untuk menjalaninya. Aku ingin membuktikan bahwa jam malam bukan hanya aturan, tapi juga sebuah kesempatan untuk menemukan diriku yang sebenarnya.