Sebuah Panggilan yang Menggetarkan Hati **
** Senja menyapa dengan lembut, menyelimuti rumah Argantara dengan warna jingga. Aroma masakan lezat tercium dari dapur, menandakan waktu makan malam telah tiba. Di meja makan, Argantara duduk berdampingan dengan ketiga putrinya, Shani, Gracia, dan Feni. Suasana terasa hangat, penuh canda dan tawa. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan Ria, adik perempuan mereka, muncul dengan senyum ceria. Ia menyapa ayahnya, Argantara, dan ketiga kakaknya dengan penuh semangat. Namun, yang membuat semua orang tercengang adalah sapaan Ria selanjutnya. "Ibu, selamat makan malam," ucap Ria, matanya tertuju pada Veranda, istri baru ayahnya. Ketiga kakak Ria terdiam sejenak, raut wajah mereka bercampur antara terkejut dan tak percaya. Shani, yang paling tua, bahkan sampai tersedak minumannya. "Ria...," gumam Gracia, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Feni, yang biasanya paling pendiam, hanya menggelengkan kepala pelan. Argantara, yang sedari tadi mengamati situasi, tersenyum hangat. "Ria, panggil saja Ibu Veranda. Dia memang ibu kamu sekarang." Ria mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Iya, Ayah. Ibu Veranda." Suasana makan malam kembali normal, meskipun masih terasa canggung. Ria, dengan penuh semangat, menceritakan tentang hari-harinya di sekolah. Ia tak henti-hentinya memuji masakan Veranda, yang menurutnya sangat lezat. Veranda, yang awalnya terlihat gugup, perlahan mulai merasa nyaman. Ia tersenyum lembut, sesekali menimpali cerita Ria. Di akhir makan malam, Ria berbisik kepada Shani, "Kak, aku senang punya Ibu Veranda. Dia baik banget." Shani tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia tahu, Ria masih berusaha untuk menerima Veranda sebagai ibu tirinya. Namun, panggilan "Ibu" yang keluar dari mulut Ria, menunjukkan bahwa Ria mulai membuka hatinya untuk Veranda. Malam itu, Argantara merasa lega. Ia melihat Ria mulai menerima Veranda sebagai bagian dari keluarganya. Ia berharap, ke depannya, hubungan mereka akan semakin erat dan penuh kasih sayang.