Getaran Harapan **
** Mentari pagi menyinari desa kecil di kaki gunung. Udara sejuk berhembus lembut, membawa aroma kopi dan nasi goreng dari warung Pak Jono. Anak-anak berlarian riang, bersiap untuk memulai hari di sekolah. Kehidupan mengalir tenang, seperti sungai yang menuruni lereng bukit. Namun, ketenangan itu sirna dalam sekejap. Bumi bergetar hebat, bangunan bergoyang, dan tanah retak. Suara gemuruh menggema, mengiringi kepanikan yang mencengkeram penduduk desa. Gempa bumi! Di tengah kekacauan, seorang anak perempuan bernama Maya berpegangan erat pada ibunya. Air mata mengalir di pipinya, namun ia berusaha tegar. Ia ingat pesan guru di sekolah: "Jika terjadi gempa, berlindunglah di bawah meja atau di sudut ruangan." Dengan hati-hati, Maya dan ibunya berlari menuju rumah. Mereka bersembunyi di bawah meja dapur, berpegangan erat, menunggu getaran berhenti. Detik terasa seperti jam, ketakutan mencengkeram jiwa mereka. Ketika getaran mereda, Maya dan ibunya keluar dari rumah. Mereka melihat kerusakan di sekitar mereka: rumah-rumah retak, pohon tumbang, dan debu beterbangan. Namun, di tengah kepiluan, mereka bersyukur karena selamat. Bersama warga desa lainnya, Maya dan ibunya membantu membersihkan puing-puing dan menolong mereka yang terluka. Rasa solidaritas dan kepedulian mewarnai suasana. Mereka saling menguatkan, berbagi makanan dan minuman, dan bergotong royong membangun kembali desa mereka. Gempa bumi telah meninggalkan luka, namun juga menorehkan pelajaran berharga. Penduduk desa menyadari pentingnya kesiapsiagaan dan solidaritas. Mereka belajar untuk saling membantu dan bangkit bersama dari keterpurukan. Matahari terbenam, langit berwarna jingga kemerahan. Di tengah reruntuhan, semangat warga desa tetap berkobar. Mereka bertekad untuk membangun kembali desa mereka, lebih kuat dan lebih tangguh dari sebelumnya. Getaran gempa bumi telah berlalu, namun getaran harapan tetap terukir di hati mereka.