Senyum Terakhir Gina\x0a\x0a**
<br/ > <br/ >Matahari mulai meredup, langit berubah warna menjadi jingga kemerahan. Di teras rumah sederhana itu, Arga duduk terdiam, matanya kosong menatap langit senja. Di sampingnya, Sarah terbaring lemah di ranjang, perutnya yang membuncit terbalut kain kasa putih. <br/ > <br/ >"Arga, aku yakin Gina yang melakukan ini," bisik Sarah, suaranya lemah. "Dia selalu iri padaku, dia ingin kau menjadi miliknya." <br/ > <br/ >Arga mengerutkan kening, "Jangan bicara seperti itu, Sayang. Gina hanya ingin membantu." <br/ > <br/ >"Tidak, Arga. Aku tahu dia yang meracuni minuman ini. Aku melihatnya!" Sarah terbatuk, wajahnya pucat pasi. <br/ > <br/ >Arga mengelus lembut rambut Sarah, "Tenanglah, Sayang. Aku akan mencari tahu siapa yang sebenarnya melakukan ini." <br/ > <br/ >Di luar, hujan mulai turun. Gina berdiri di bawah pohon besar, tubuhnya gemetar kedinginan. Air mata mengalir deras di pipinya. <br/ > <br/ >"Kenapa semua orang menyalahkan aku?" gumamnya lirih. "Aku hanya ingin membantu Sarah." <br/ > <br/ >Gina teringat kejadian beberapa hari lalu. Sarah tiba-tiba jatuh pingsan, muntah-muntah. Gina yang saat itu sedang berkunjung langsung membantu Sarah. Dia membersihkan muntahan Sarah, mengantarnya ke rumah sakit, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. <br/ > <br/ >"Gina, kau jahat! Kau meracuni Sarah!" teriak Arga, matanya merah padam. "Kau selalu iri padaku dan Sarah!" <br/ > <br/ >Gina terdiam, hatinya hancur. Dia tidak pernah berniat menyakiti Sarah. Dia hanya ingin membantu. <br/ > <br/ >"Arga, aku mohon percaya padaku. Aku tidak melakukan itu," ucap Gina, suaranya bergetar. <br/ > <br/ >"Aku tidak percaya!" bentak Arga. "Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!" <br/ > <br/ >Gina terhuyung mundur, air matanya semakin deras. Dia merasa terpuruk, tidak ada yang percaya padanya. <br/ > <br/ >"Aku pergi," ucap Gina, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tidak ingin menjadi beban lagi." <br/ > <br/ >Gina berlari meninggalkan rumah itu, tanpa menoleh ke belakang. Dia berlari tanpa tujuan, hanya ingin menghilang dari dunia yang penuh dengan ketidakadilan. <br/ > <br/ >Hujan semakin deras, jalanan menjadi licin. Gina terhuyung, kakinya tergelincir. Sebuah truk melaju kencang, Gina tak sempat menghindar. <br/ > <br/ >"Gina!" teriak Arga, matanya terbelalak. <br/ > <br/ >Arga berlari sekuat tenaga, tubuhnya terhuyung-huyung. Dia melihat Gina tergeletak di aspal, darah mengucur deras dari kepalanya. <br/ > <br/ >"Gina... Gina... bangun!" Arga berteriak histeris, air matanya mengalir deras. <br/ > <br/ >Truk itu mencoba kabur, tetapi Arga berhasil menghentikannya. Sopir truk itu turun, wajahnya pucat pasi. <br/ > <br/ >"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja," ucap sopir truk itu, suaranya gemetar. <br/ > <br/ >Arga menatapnya tajam, "Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!" <br/ > <br/ >Arga menggendong Gina, tubuhnya lemas. Dia berlari menuju rumah sakit, berharap keajaiban masih ada. <br/ > <br/ >"Dokter, tolong selamatkan Gina!" teriak Arga, suaranya bergetar. <br/ > <br/ >Dokter menggeleng, "Maaf, Pak. Gina sudah meninggal." <br/ > <br/ >Arga terhuyung mundur, tubuhnya lemas. Dia terduduk di lantai, air matanya mengalir deras. <br/ > <br/ >"Gina... Gina... kenapa kau pergi?" lirih Arga, suaranya terisak. <br/ > <br/ >Di sampingnya, Sarah terbangun. Dia melihat Arga yang sedang berduka, matanya berkaca-kaca. <br/ > <br/ >"Arga, aku... aku menyesal," ucap Sarah, suaranya lemah. "Aku salah menuduh Gina. Aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan." <br/ > <br/ >Arga menatap Sarah, matanya kosong. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya bisa merasakan sakit yang menusuk hatinya. <br/ > <br/ >"Gina... Gina... kau pergi tanpa pamit," lirih Arga, suaranya terisak. "Kau meninggalkan aku... kau meninggalkan kami semua." <br/ > <br/ >Arga terdiam, matanya menatap langit senja. Senyum terakhir Gina terukir di benaknya, senyum yang penuh dengan kesedihan dan kepedihan. <br/ > <br/ >Catatan:** <br/ > <br/ >Cerpen ini menekankan pada kesedihan dan penyesalan Arga atas kepergian Gina. Cerita ini juga menunjukkan betapa pentingnya saling percaya dan tidak mudah menjatuhkan vonis tanpa bukti yang kuat. <br/ >