Modernisasi dan Perkembangan Imperialisme Jepang
Restorasi Meiji: Awal Modernisasi di Jepang Sebelum era modern, Jepang merupakan sebuah negara yang feodal. Kaisar, shogun, serta daimyo memainkan peran penting dalam pemerintahan baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Periode ini seringkali diwarnai perebutan kekuasaan di antara mereka, baik antar shogun maupun antara shogun dan kaisar. Shogun adalah komandan angkatan bersenjata yang menjalankan kekuasaan sehari-hari secara absolut di Jepang. Pada masa itu, jabatan shogun hanya dipegang oleh sejumlah "klan" militer yang kuat. Mereka kerap bersaing satu sama lain untuk meraih kekuasaan. Para shogun umumnya berasal dari daimyo yang kuat secara ekonomi dan militer. Daimyo adalah penguasa atau gubernur wilayah atau raja lokal, yang tunduk pada shogun dan kaisar di wilayah kekuasaannya. Daimyo memiliki angkatan bersenjata sendiri yang digunakan untuk meraih popularitas, pengaruh, dan akhirnya menaklukkan shogun yang sedang berkuasa. Setelah berkuasa, shogun baru ini membangun "klan" militer sendiri serta mempertahankannya dengan segala cara, tak jarang melalui pertumpahan darah. Hubungan Jepang dengan dunia Barat baru dimulai sejak abad ke-16 ketika para pedagang dan misionaris dari Serikat Yesus Portugal menginjakkan kaki di Jepang. Namun tidak lama berselang, tepatnya tahun 1639, Shogun Tokugawa menjalankan kebijakan sakoku atau "negara tertutup" yang berlangsung selama dua setengah abad (1639-1854), yang membuat Jepang terisolasi dari dunia luar. Melalui kebijakan ini, orang asing dilarang masuk ke Jepang dan sebaliknya, orang Jepang dilarang berhubungan dengan orang asing ataupun meninggalkan Jepang. Pelanggaran terhadap kebijakan ini diganjar dengan hukuman mati. Meskipun demikian, dalam praktiknya, Jepang tidak sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Beberapa negara masih menjalin hubungan ekonomi dengan Jepang, seperti Belanda, Tiongkok, dan Korea. Belanda adalah satu-satunya negara Barat yang diizinkan berhubungan dengan Jepang. Negara ini menjalin hubungan di Dejima, Nagasaki. Perdagangan juga berkembang, meskipun dibatasi hanya di wilayah Nagasaki. Latar belakang kebijakan sakoku memiliki dua alasan. Pertama, keshogunan Tokugawa ingin menjaga stabilitas politik di dalam negeri. Kedua, mereka ingin melindungi kebudayaan dan tradisi Jepang dari pengaruh asing yang dianggap dapat mengancam identitas nasional. Dengan berakhirnya kebijakan sakoku pada tahun 1854, Jepang mulai membuka diri terhadap dunia luar dan mengalami modernisasi yang pesat. Restorasi Meiji menjadi awal dari era modernisasi di Jepang, yang membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan Jepang, termasuk politik, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian, modernisasi di Jepang tidak hanya berdampak pada perkembangan internal negara tersebut, tetapi juga membuka jalan bagi imperialisme Jepang di masa mendatang.