The Crying Stone: A Lesson in Respect and Humility
Di sebuah bukit di daerah Bormeo, tinggalah seorang janda miskin dan putrinya. Sang putri sangat cantik, namun dia sangat malas dan manja. Dia suka berdandan setiap hari, tetapi tidak pernah membantu ibunya. Suatu hari, mereka pergi ke desa untuk berbelanja. Pasar berada jauh dari rumah mereka, jadi mereka harus berjalan kaki. Sang putri berdandan dengan sangat rapi dan berjalan di depan ibunya. Sementara itu, sang ibu berjalan di belakang, membawa keranjang dan mengenakan pakaian kotor. Tidak ada yang tahu bahwa mereka adalah ibu dan anak. Ketika mereka memasuki desa, orang-orang melihat mereka. Para pemuda terpesona oleh kecantikan sang putri, namun mereka heran melihat wanita yang berjalan di belakangnya. Beberapa pemuda bertanya kepada sang putri apakah wanita itu ibunya. Namun sang putri dengan sombong menjawab bahwa wanita itu adalah pelayannya. Semakin banyak orang yang bertanya saat mereka menuju pasar. Sang putri terus memberikan jawaban yang sama bahwa janda itu adalah budaknya. Sang ibu merasa sedih karena putrinya menghilangkan dan menghina dirinya berulang kali. Sang ibu berdoa kepada Tuhan untuk menghukum putrinya yang kasar dan tidak hormat. Kemudian, sang putri tiba-tiba berhenti berjalan dan kakinya terasa mati rasa. Sang putri menangis dan meminta maaf kepada ibunya, tetapi sudah terlambat. Sang putri berubah menjadi batu. Sejak saat itu, orang-orang menyebut batu itu 'The Crying Stone'. Dari cerita ini, kita dapat mengambil pelajaran moral tentang pentingnya menghormati dan rendah hati. Sang putri yang sombong dan tidak menghargai ibunya akhirnya mendapatkan hukuman yang pantas. Kita harus belajar untuk menghormati dan menghargai orang lain, terutama orang tua kita. Jangan sampai kita terlambat menyadari pentingnya sikap yang baik dan rendah hati. Dengan mengambil pelajaran dari cerita ini, kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai orang-orang di sekitar kita.