Bromo Dedali dan Amarah Seorang Ayah **
** Matahari sore menyinari wajah Bromo Dedali, garis-garis kerutan di wajahnya semakin jelas terlihat. Ia tengah diwawancarai oleh seorang jurnalis, pertanyaan yang dilontarkan membuat rahangnya mengeras. "Apa yang sekiranya Anda benci untuk generasi sekarang?" tanya jurnalis itu. Bromo menarik napas dalam-dalam, matanya menatap jauh ke cakrawala. "Hmm, hal yang kubenci..." Ia terdiam sejenak, "Itu ketika seorang pria mengatakan hal bodoh kepada putriku." Suaranya bergetar, "Dia seperti bilang, 'Maukah kau bersamaku mulai dari 0?' Itu sangatlah bullshit! Aku dan istriku berjuang agar putriku tidak memulai dari 0, memulai hidup susah. Kami berusaha membuatnya bahagia, menyekolahkannya di sekolah yang keren, memberikannya mainan yang ia sukai, membayar layanan Netflix untuk film-film yang ia sukai, memperhatikannya dan memberinya makanan yang baik untuknya, tak membuatnya kelaparan, memberinya segala baju bagus yang ia inginkan. Dan tiba-tiba ada lelaki yang berbicara seperti itu dan mulai berhubungan dengannya. Ketika menolak, si lelaki malah bilang putriku matre." Bromo mengepalkan tangannya, "Hei, putriku itu realistis! Dia tak akan merelakan hidupnya yang baik yang sudah kami usahakan untuk melarat dengan pria yang bodoh dan melarat." Ia terdiam lagi, matanya berkaca-kaca. "Aku dan istriku berusaha dengan susah payah agar dia bahagia, agar saat dia dewasa dia bisa mengatakan, 'Aku bangga kepada orang tuaku, mereka orang tua terbaik yang bisa membuatku merasa bangga.' Itulah kerja keras kami, agar ia bahagia." Bromo Dedali, seorang ayah yang penuh kasih sayang, terluka oleh ketidakpedulian dan keangkuhan generasi muda. Ia ingin putri tercintanya merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang ia perjuangkan selama ini. Ia ingin putri tercintanya bangga dengan kerja kerasnya, bukan terjebak dalam hubungan yang tak menjanjikan.