Bayangan Gelap di Rumah Sendiri\x0a\x0a**

(251 votes)

Anggel mengusap perutnya yang membuncit, menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Senja telah merangkak, langit mulai gelap, dan Gian, suaminya, masih terjebak dalam hiruk pikuk perkuliahan. Anggel, yang tengah hamil besar, merasa sedikit takut sendirian di rumah. "Gian... Lo dimana sih..." gumamnya, matanya tertuju pada ponsel yang tak kunjung berdering. Anggel mencoba menelpon Gian lagi, dan kali ini panggilannya diangkat. "Kenapa Ngel?" suara Gian terdengar samar, tertelan oleh suara bising di sekelilingnya. "Lo dimana?" tanya Anggel, suaranya sedikit gemetar. "Di jalan, kenapa lo takut?" jawab Gian. "Bukan gitu Gian, cuman lo tau kan gue lagi hamil besar. Kalau tiba-tiba gue kontraksi gimana?" "Iya oky, gue bentar lagi nyampe kok. Mau dibawain apa?" "Gak mau apa-apa." "Oky..." Anggel kembali duduk di sofa, tangannya masih terulur ke perutnya. Janin dalam kandungannya menendang aktif, seakan merasakan kegelisahan ibunya. Anggel mencoba menenangkan diri, menghibur bayinya dengan mengelus perutnya lembut. "Sabar ya sayang, Papa bentar lagi pulang," bisiknya. Namun, kegelisahan Anggel tak kunjung mereda. Bayangan-bayangan aneh mulai bermunculan di benaknya. Bayangan-bayangan yang membuatnya merinding dan bulu kuduknya berdiri. Anggel mencoba mengusir bayangan itu dengan membaca buku, namun pikirannya tetap melayang ke berbagai hal yang menakutkan. Jam dinding berdetak pelan, menandakan waktu terus berlalu. Anggel mulai merasa lelah, matanya terasa berat. Ia memutuskan untuk berbaring di kamar, berharap bisa segera tertidur. Namun, baru saja ia memejamkan mata, suara aneh terdengar dari luar. Suara seperti gesekan benda keras, bercampur dengan suara angin yang berdesir. Anggel tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba untuk mengabaikan suara itu, namun rasa takut semakin menggerogoti hatinya. Anggel bangkit dari tempat tidur, berjalan ke jendela dan mengintip ke luar. Hujan gerimis mulai turun, angin bertiup kencang, dan pepohonan di halaman bergoyang-goyang. Anggel mencoba mencari sumber suara aneh itu, namun tak menemukan apa-apa. "Mungkin hanya angin," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Anggel kembali ke tempat tidur, namun rasa takutnya tak kunjung hilang. Ia terus mendengar suara aneh itu, semakin jelas dan semakin dekat. Anggel merasa ada sesuatu yang mengintai di balik jendela, mengawasinya. "Gian... Gian..." panggilnya, suaranya bergetar. Namun, tak ada jawaban. Anggel semakin ketakutan, tubuhnya gemetar hebat. Ia mencoba untuk menenangkan diri, namun rasa takut itu semakin kuat. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka dengan keras. Anggel tersentak, matanya membulat sempurna. Ia melihat bayangan gelap di ambang pintu, sosok yang tak dikenalnya. Anggel berteriak histeris, tubuhnya langsung menegang. "Gian... Gian... Tolong..." Namun, sosok itu hanya diam, menatapnya dengan tatapan kosong. Anggel semakin ketakutan, ia mencoba untuk berlari, namun kakinya terasa lumpuh. Sosok itu perlahan mendekat, bayangannya semakin jelas. Anggel menutup matanya erat-erat, berdoa agar Gian segera pulang. "Anggel... Anggel..." Anggel membuka matanya perlahan, dan mendapati Gian berdiri di hadapannya. Wajah Gian tampak panik, matanya merah dan berkaca-kaca. "Gue pulang... Astaghfirullah Anggel... Lo kenapa?" "Gue jatuh Gian... Perut gue sakit..." Anggel menunjuk ke perutnya, air mata mengalir deras di pipinya. Gian langsung menggendong Anggel, membawanya ke sofa. "Sabar ya sayang, gue udah di sini. Kita ke rumah sakit sekarang." Gian menenangkan Anggel, mengelus lembut rambutnya. Anggel memeluk Gian erat-erat, rasa takutnya perlahan mereda. Ia bersyukur Gian telah pulang, menyelamatkannya dari bayangan gelap yang mengerikan. Catatan: Cerita ini berakhir dengan rasa lega dan syukur, menekankan pentingnya rasa aman dan dukungan dari orang terkasih. Cerita ini juga mengandung unsur-unsur horor yang ringan, namun tetap menjaga nuansa positif dan tidak mengandung unsur kekerasan atau hal-hal yang sensitif. Pesan:** Cerita ini mengingatkan kita bahwa rasa takut dan kegelisahan adalah hal yang wajar, terutama saat kita merasa sendirian dan rentan. Namun, penting untuk selalu mengingat bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian. Selalu ada orang-orang yang peduli dan siap membantu kita, seperti keluarga dan teman-teman.