Kritik Sosial dan Budaya dalam Amanat Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, bukan sekadar kisah cinta dan tragedi seorang ronggeng. Lebih dari itu, novel ini merupakan potret sosial budaya masyarakat Jawa yang sarat kritik terhadap ketimpangan, eksploitasi, dan kemunafikan. Melalui kisah Srintil, sang ronggeng, Tohari dengan tajam menguliti luka sosial yang menggerogoti sendi-sendi kemanusiaan.
Nafsu dan Kepentingan di Balik Tradisi
Kritik sosial budaya yang paling menonjol dalam Ronggeng Dukuh Paruk adalah eksploitasi terhadap perempuan atas nama tradisi. Sosok Srintil, yang dipaksa menjadi ronggeng demi menyelamatkan desanya dari pagebluk, menjadi simbol nyata bagaimana perempuan dijadikan objek pemuas nafsu dan alat mencapai tujuan. Tradisi ronggeng, yang seharusnya menjadi ritual sakral, justru direduksi menjadi ajang pemuasan hasrat dan perebutan pengaruh. Tohari dengan gamblang menunjukkan bagaimana sistem patriarki dan feodalisme bersekongkol menjerat perempuan dalam lingkaran eksploitasi.
Kemiskinan dan Kesenjangan: Akar Eksploitasi
Ronggeng Dukuh Paruk juga menyoroti kemiskinan dan kesenjangan sosial sebagai akar dari eksploitasi. Dukuh Paruk, dengan segala keterbelakangannya, menjadi ladang subur bagi tumbuhnya praktik-praktik eksploitatif. Srintil, yang terlahir dari keluarga miskin, tak punya pilihan selain pasrah menerima takdirnya sebagai ronggeng. Tohari menggambarkan bagaimana kemiskinan membuat masyarakat rentan terhadap eksploitasi, sementara mereka yang berkuasa memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan.
Kemunafikan Moral dan Religiusitas Semu
Tak hanya mengkritik eksploitasi dan kesenjangan, Tohari juga menyentil kemunafikan moral dan religiusitas semu yang menjangkiti masyarakat. Tokoh-tokoh seperti Pak Kiai dan para pemuka agama digambarkan munafik, menutup mata terhadap eksploitasi yang terjadi di depan mata. Mereka lebih sibuk dengan atribut dan ritual keagamaan, namun abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Tohari seakan ingin menunjukkan bahwa agama, yang seharusnya menjadi sumber pembebasan, justru dijadikan tameng untuk melanggengkan ketidakadilan.
Kehancuran Moral dan Hilangnya Kemanusiaan
Kritik sosial budaya dalam Ronggeng Dukuh Paruk bermuara pada keprihatinan Tohari terhadap kehancuran moral dan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan. Eksploitasi, kesenjangan, dan kemunafikan yang merajalela telah menggerus sendi-sendi moral masyarakat. Tohari menggambarkan bagaimana individu-individu dalam masyarakat kehilangan rasa empati dan kepedulian terhadap sesama. Kehancuran moral ini menjadi alarm bagi pembaca untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang semakin terkikis.
Ronggeng Dukuh Paruk adalah cermin bagi kita untuk berkaca, melihat realitas sosial budaya yang seringkali tertutupi oleh hingar bingar modernitas. Melalui kisah Srintil dan Dukuh Paruk, Tohari mengajak kita untuk lebih kritis dalam melihat tradisi, melawan eksploitasi, dan memperjuangkan keadilan sosial. Novel ini adalah gugatan terhadap kemunafikan, sekaligus seruan untuk kembali pada nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.