Irham, Kambing Jantan yang Pasrah **
Matahari pagi menyinari halaman rumah Eni. Udara sejuk menyapa kulitnya saat ia keluar untuk memulai ritual tahunan: menyembelih kambing. Tahun ini, kambing jantan bernama Irham yang menjadi pilihan. Irham, dengan bulunya yang lebat dan tanduk yang kokoh, tampak tenang di kandang. Eni mengelus lembut kepala Irham, merasakan kehangatan tubuhnya. Eni tahu, Irham bukanlah kambing sembarangan. Ia telah merawat Irham sejak kecil, memberi makan dan membersihkan kandangnya. Irham pun selalu menyambut Eni dengan suara blek-blek yang ramah. Namun, tradisi tetaplah tradisi. Eni harus menyembelih Irham untuk mendapatkan daging yang lezat untuk keluarga. Saat Eni membawa Irham ke tempat pemotongan, Irham tampak pasrah. Ia tidak meronta atau melawan. Eni merasakan sesak di dadanya. Ia tahu, Irham mengerti apa yang akan terjadi. Namun, Eni harus tetap tegar. Ia berbisik kepada Irham, "Maafkan aku, Irham. Ini untuk kebaikan kita semua." Dengan tangan yang gemetar, Eni mengarahkan pisau tajam ke leher Irham. Seketika, darah mengalir deras. Irham terkulai lemas, matanya terpejam. Eni terdiam, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa kehilangan sahabat. Setelah Irham disembelih, Eni merasa lega. Ia tahu, daging Irham akan menjadi hidangan lezat untuk keluarga. Namun, di balik rasa lega itu, terbersit rasa sedih yang mendalam. Eni menyadari, tradisi memang penting, namun kasih sayang dan empati terhadap makhluk hidup juga tak kalah penting. Catatan:** Kisah ini menggambarkan bagaimana Eni, meskipun harus menyembelih Irham, tetap merasakan kasih sayang dan empati terhadap makhluk hidup. Kisah ini juga menunjukkan bahwa tradisi dan kebutuhan manusia harus seimbang dengan rasa kemanusiaan.