Paradigma Baru dalam Kajian "Kemahasiswaan": Inovatif atau Cukup Post-Modern?
Kemahasiswaan, atau layanan mahasiswa, adalah departemen atau divisi pertumbuhan dan perkembangan. Orang-orang yang bekerja di bidang ini adalah praktisi kemahasiswaan yang bekerja untuk menyediakan dukungan dan layanan kepada mahasiswa di institusi pendidikan tinggi. Konsep ini berkembang dari Eropa benua, di mana pengembangan kemahasiswaan dimulai lebih awal. Namun, di negara-negara Amerika Latin, seperti Uruguay, aktivitas profesional dalam bidang ini baru berkembang pada tahun 1980-an setelah terbentuknya Asosiasi Kemahasiswaan Amerika Latin. Asosiasi ini dibentuk setelah perwakilan dari Asosiasi Kemahasiswaan Asia dan Pasifik mengadakan pertemuan dan kerjasama dengan praktisi kemahasiswaan di Amerika Latin. ISA adalah komite tetap dari Dewan Eksekutif APSSA. Pada tahun 2021, Institut ini memiliki lima Koordinator Program yang tercatat di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan China. Dari tahun 2018 hingga 2022, posisi Direktur ISA dipegang oleh Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang paradigma baru dalam kajian "kemahasiswaan" dan apakah paradigma ini inovatif atau cukup post-modern. Paradigma baru ini mencakup perubahan dalam pendekatan dan pemikiran tentang kemahasiswaan, serta pengaruhnya terhadap pengembangan dan pertumbuhan mahasiswa. Pertama-tama, mari kita lihat apa yang dimaksud dengan paradigma baru dalam kajian "kemahasiswaan". Paradigma baru ini melibatkan pergeseran dari pendekatan tradisional yang berfokus pada pemberian layanan dan dukungan kepada mahasiswa, menjadi pendekatan yang lebih holistik dan berpusat pada mahasiswa. Paradigma baru ini mengakui bahwa mahasiswa adalah individu yang unik dengan kebutuhan dan aspirasi yang berbeda-beda, dan bahwa pendekatan yang efektif dalam membantu mereka mencapai kesuksesan akademik dan pribadi adalah dengan memahami dan merespons kebutuhan mereka secara menyeluruh. Salah satu contoh paradigma baru dalam kajian "kemahasiswaan" adalah pendekatan yang berbasis pada data dan bukti. Dalam paradigma ini, keputusan dan tindakan yang diambil oleh praktisi kemahasiswaan didasarkan pada bukti dan data yang dikumpulkan tentang mahasiswa dan pengalaman mereka. Hal ini memungkinkan praktisi kemahasiswaan untuk membuat keputusan yang lebih informasi dan efektif dalam menyediakan layanan dan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Selain itu, paradigma baru ini juga mencakup pergeseran dari pendekatan yang berpusat pada institusi menjadi pendekatan yang berpusat pada mahasiswa. Dalam paradigma ini, institusi pendidikan tinggi mengakui bahwa mahasiswa adalah mitra dalam proses pembelajaran dan pengembangan, dan bahwa mereka memiliki peran aktif dalam membentuk pengalaman mereka sendiri. Institusi pendidikan tinggi bekerja sama dengan mahasiswa untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Namun, apakah paradigma baru ini inovatif atau cukup post-modern? Jawabannya mungkin tergantung pada sudut pandang dan konteks tertentu. Paradigma baru ini dapat dianggap inovatif karena menghadirkan pendekatan yang lebih holistik dan berpusat pada mahasiswa, yang dapat meningkatkan efektivitas layanan dan dukungan yang diberikan kepada mahasiswa. Paradigma baru ini juga mencerminkan perkembangan dan perubahan dalam pemikiran dan praktik kemahasiswaan, yang dapat dianggap sebagai inovasi dalam bidang ini. Namun, paradigma baru ini juga dapat dianggap cukup post-modern karena mengakui kompleksitas dan keragaman pengalaman mahasiswa, serta mengakui bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang dapat diterapkan pada semua mahasiswa. Pendekatan yang berpusat pada mahasiswa dan penggunaan data dan bukti juga mencerminkan pemikiran post-modern yang mengakui bahwa pengetahuan dan