Reformasi Agama di Masa Pemerintahan Raja Hizkia
Raja Hizkia memerintah Yehuda selama 29 tahun, suatu periode yang ditandai dengan gejolak politik dan kebangkitan rohani. Salah satu aspek terpenting dari pemerintahannya adalah reformasi agama yang luas yang dia laksanakan, yang bertujuan untuk mengembalikan bangsa itu kepada penyembahan Yahweh, Tuhan Israel. Reformasi ini merupakan tanggapan langsung terhadap penyembahan berhala yang meluas dan sinkretisme agama yang telah menyusup ke dalam masyarakat Yehuda di bawah pemerintahan para pendahulunya, terutama ayahnya, Ahaz.
Melawan Penyembahan Berhala dan Mempromosikan Monoteisme
Inti dari reformasi agama Hizkia adalah penekanannya pada monoteisme dan upayanya yang gigih untuk memberantas penyembahan berhala. Hizkia memahami bahwa kesetiaan kepada Yahweh sangat penting bagi kesejahteraan rohani dan politik Yehuda. Untuk mencapai tujuan ini, ia memulai kampanye sistematis untuk menghilangkan tempat-tempat pemujaan asing dan simbol-simbol penyembahan berhala. "Tempat-tempat tinggi", altar-altar, dan tiang-tiang berhala yang didirikan di seluruh negeri dihancurkan, menandakan penolakan yang tegas terhadap praktik-praktik agama politeistik. Penghapusan ular tembaga, objek yang dihormati sejak zaman Musa, menunjukkan tekad Hizkia untuk memusnahkan bahkan bentuk-bentuk pemujaan yang paling mengakar sekalipun yang telah menyimpang dari penyembahan Yahweh.
Peran Sentral Bait Suci Yerusalem
Reformasi agama Hizkia berpusat pada Bait Suci Yerusalem, yang ingin ia tegaskan kembali sebagai pusat ibadah dan identitas nasional. Bait Suci telah jatuh ke dalam keadaan terlantar di bawah pemerintahan para pendahulunya, dengan banyak orang Yehuda mempersembahkan korban di tempat-tempat tinggi setempat daripada melakukan perjalanan ke Yerusalem. Hizkia memulai proyek renovasi besar-besaran Bait Suci, membersihkannya dari kerusakan dan menguduskannya kembali untuk ibadah. Ia juga mengembalikan keimamatan Lewi, yang telah diabaikan, dan menetapkan kembali praktik-praktik pengorbanan dan perayaan keagamaan sesuai dengan hukum Musa. Dengan memusatkan kembali kehidupan keagamaan di sekitar Bait Suci, Hizkia berusaha untuk mempersatukan bangsa di bawah panji-panji iman bersama.
Perayaan Paskah dan Pembaruan Perjanjian
Salah satu peristiwa paling penting dari reformasi agama Hizkia adalah perayaan Paskah yang agung, yang diceritakan dalam 2 Tawarikh 30. Hizkia mengundang seluruh Israel, termasuk kerajaan utara, untuk bergabung dengan Yehuda dalam merayakan Paskah di Yerusalem. Perayaan ini dimaksudkan untuk menjadi penegasan publik tentang perjanjian antara Yahweh dan umat-Nya, dan untuk memperkuat ikatan persatuan agama di antara mereka. Perayaan Paskah merupakan keberhasilan yang luar biasa, dengan banyak orang dari seluruh Israel datang ke Yerusalem untuk mengambil bagian dalam perayaan tersebut. Peristiwa ini menunjukkan keinginan Hizkia untuk memperluas reformasinya di luar Yehuda dan untuk mempromosikan persatuan agama di antara semua orang Israel.
Reformasi agama Raja Hizkia merupakan titik balik dalam sejarah Yehuda. Penekanannya pada monoteisme, sentralitas Bait Suci Yerusalem, dan pembaruan perjanjian meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada identitas agama dan praktik-praktik keagamaan bangsa itu. Reformasi Hizkia tidak hanya merupakan respons terhadap kemerosotan rohani tetapi juga merupakan penegasan strategis tentang kedaulatan Yehuda dan perjanjiannya dengan Yahweh di tengah ketidakpastian politik dan ancaman dari kerajaan-kerajaan tetangga. Warisan reformasinya terus bergema lama setelah kematiannya, membentuk lanskap agama Yehuda selama beberapa generasi mendatang.