Perlawanan Cirebon terhadap Pajajaran: Sebuah Titik Balik dalam Sejarah Jaw
Sejak awal abad ke-16, hubungan antara Kerajaan Cirebon dan Pajajaran mulai memburuk. Cirebon, yang dipimpin oleh Sultan Trenggana, berusaha untuk menguasai seluruh Pulau Jawa, termasuk Banten dan Sunda Kelapa, dua pelabuhan besar Pajajaran pada saat itu. Prabu Siliwangi, yang mengetahui rencana ekspansi Cirebon, mengambil langkah yang sangat cerdik. Dia mengirimkan dua putranya, Prabu Surawisesa, untuk bertemu dengan penguasa Portugis Afonso d'Albuquerque di Malaka pada tahun 1512 dan 1521. Hasil dari diplomasi ini adalah kerja sama perdagangan dan militer, yang disimbolkan dengan pemasangan Padrao di tanah Pajajaran. Sultan Trenggana, yang memerintah Kerajaan Demak dari tahun 1504 hingga 1546, merasa sangat terancam oleh persekutuan ini. Untuk mengantisipasi serangan Pajajaran, Cirebon meminta bantuan dari Demak. Prabu Siliwangi, yang masih hidup pada saat itu, memutuskan untuk menyerang Cirebon, tetapi dicegah oleh Ki Purwa Galih, pendeta tertinggi kerajaan (purohita). Saat Prabu Siliwangi masih hidup, tidak ada perang yang dilaporkan antara Cirebon dan Pajajaran. Menurut hipotesis populer, tidak ada perang karena adanya rasa hormat dan ketakutan para putra Prabu. Perlawanan Cirebon terhadap Pajajaran adalah titik balik penting dalam sejarah Jawa. Ini menunjukkan bahwa Cirebon tidak takut untuk menentang kekuasaan yang lebih besar dan mempertahankan kemandirian mereka. Perlawanan ini juga menunjukkan bahwa Cirebon memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai mereka sendiri dan tidak akan menyerah pada keyakinan mereka, bahkan jika itu berarti menghadapi tantangan yang besar. Sebagai kesimpulan, perlawanan Cirebon terhadap Pajajaran adalah contoh yang kuat dari keberanian dan keteguhan hati. Ini menunjukkan bahwa bahkan di tengah tantangan yang besar, Cirebon tidak akan menyerah pada keyakinan mereka dan akan berjuang untuk mempertahankan kemandirian mereka. Sejarah ini adalah pengingat yang tentang pentingnya mengikuti hati dan berdiri untuk apa yang benar, bahkan jika itu berarti menghadapi tantangan yang besar.