Perkembangan Pertanian di Indonesia: Dari Kolonialisme hingga Era Modern
Pertanian di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan sepanjang sejarahnya. Fase-fase penting dalam perkembangan sistem, struktur, dan kondisi pertanian di Indonesia tidak terlepas dari konteks sejarah kolonialisme yang berlangsung selama berabad-abad. Pada awalnya, struktur pertanian di Indonesia terbentuk sebagai akibat dari proses kolonialisme asing. Mayoritas petani kecil di Indonesia berada dalam lapisan paling bawah dan terjebak dalam sistem ekonomi yang didominasi oleh kekuatan ekonomi asing. Bahkan, sistem ekonomi besar di Indonesia pada saat itu juga merupakan bagian dari sistem ekonomi kolonial. Pasca kemerdekaan, belum ada reformasi sosial yang mampu mengubah pola hubungan ekonomi yang timpang tersebut. Petani dan pertanian rakyat kita masih terjebak dalam kondisi yang sulit, terutama setelah monopoli dagang VOC yang kemudian diikuti oleh sistem tanam paksa (culture stelsel). Setelah itu, sistem kapitalis-liberal yang berlaku hanya menjadikan Indonesia sebagai onderneming besar sekaligus sumber buruh murah bagi perusahaan-perusahaan swasta Belanda. Perkebunan besar mereka dikuasai dan produksinya diarahkan untuk memenuhi pasar luar negeri. Pertanian rakyat tetap saja dieksploitasi dan semakin kehilangan daya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memakmurkan petani. Upaya reformasi agraria melalui UU Pokok Agraria 1960 dan UU Perjanjian bagi Hasil (1964) dilakukan untuk mengubah pola bagi hasil dan mengoreksi struktur pertanian yang masih terpengaruh oleh masa kolonial. Namun, upaya tersebut tidak mampu mengembalikan vitalitas pertanian, terutama di era Orde Baru yang lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi tinggi. Kemudian, Revolusi Hijau yang melanda Indonesia membawa penggunaan bibit-bibit baru dan teknologi pertanian dari luar negeri. Meskipun Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984, Revolusi Hijau ini lebih menguntungkan petani dengan lahan luas. Produksi pertanian meningkat, tetapi pendapatan petani turun akibat mahalnya input pertanian seperti pupuk. Pertukaran barang dengan petani juga semakin timpang, dengan harga jual produk pertanian yang rendah dan harga input yang tinggi. Liberalisasi pertanian yang disarankan oleh IMF dan WTO saat ini ditandai dengan impor bebas produk pertanian seperti beras, gula, daging, ayam, jagung, dan buah-buahan. Liberalisasi ini memberikan dampak negatif bagi petani dalam negeri, sementara korporasi besar yang menguasai input pertanian dan perdagangan internasional menjadi lebih menguntungkan. Meskipun produksi pertanian meningkat, pendapatan petani dalam negeri tidak meningkat secara signifikan. Dalam kesimpulan, perkembangan pertanian di Indonesia telah dipengaruhi oleh berbagai faktor sejarah, termasuk kolonialisme, sistem ekonomi kapitalis-liberal, dan upaya reformasi agraria. Meskipun ada kemajuan dalam produksi pertanian, masih ada tantangan yang harus dihadapi, terutama dalam menjaga keberlanjutan pertanian rakyat dan meningkatkan kesejahteraan petani.