Balapan Terakhir Zara\x0a\x0a**
** <br/ > <br/ >"Lo diam di rumah!" Suara Ardan bergema di ruangan, dingin dan menusuk. Zara mengerutkan kening, matanya menyala dengan api perlawanan. <br/ > <br/ >"Gue gak mau! Gue mau balapan!" <br/ > <br/ >Ardan mendekat, rahangnya mengeras. "Heh! Lo lagi hamil empat bulan mau balapan? Lo mau bunuh anak gue?" <br/ > <br/ >Zara terdiam, tangannya mengepal erat. Perutnya yang mulai membuncit terasa berat, tapi semangatnya untuk balapan masih berkobar. <br/ > <br/ >"Ardan, gue gak bisa diem di rumah. Gue butuh angin, butuh sensasi. Gue gak mau jadi ibu rumah tangga yang cuma ngurusin anak dan masak." <br/ > <br/ >Ardan menghela napas, matanya menatap Zara dengan penuh kekhawatiran. "Zara, lo tau kan resikonya? Lo bisa jatuh, bisa kenapa-kenapa. Anak kita juga bisa kenapa-kenapa." <br/ > <br/ >"Gue tau, Ardan. Tapi gue gak bisa nahan lagi. Gue butuh ini. Gue butuh balapan." <br/ > <br/ >Ardan terdiam, hatinya bercampur aduk. Dia mencintai Zara, dia ingin melindungi Zara dan anak mereka. Tapi dia juga mengerti hasrat Zara untuk balapan, hasrat yang sudah ada sejak mereka masih remaja. <br/ > <br/ >"Oke, lo balapan. Tapi janji sama gue, lo harus hati-hati. Jangan ngebut, jangan ambil resiko. Dan kalau lo capek, berhenti." <br/ > <br/ >Zara mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Gue janji, Ardan. Gue bakal hati-hati." <br/ > <br/ >Di arena balapan, Zara bersiap dengan motor kesayangannya. Dia merasakan debaran jantungnya semakin cepat, adrenalinnya mulai terpacu. Dia menatap Ardan yang berdiri di pinggir arena, matanya penuh kekhawatiran. <br/ > <br/ >"Gue sayang lo, Zara. Hati-hati." <br/ > <br/ >Zara tersenyum, "Gue juga sayang lo, Ardan." <br/ > <br/ >Lampu hijau menyala, Zara tancap gas. Motornya melesat dengan kecepatan tinggi, angin menerpa wajahnya. Dia merasakan kebebasan, merasakan hidup. <br/ > <br/ >Namun, takdir berkata lain. Di tikungan tajam, motor Zara oleng. Dia jatuh, tubuhnya terbanting ke aspal. <br/ > <br/ >Ardan berlari menghampiri Zara, panik melanda hatinya. Darah mengucur dari kaki Zara, perutnya terasa sakit. <br/ > <br/ >"Zara! Zara! Bangun!" <br/ > <br/ >Zara membuka matanya, pandangannya kabur. Dia melihat Ardan, wajahnya penuh kepanikan. <br/ > <br/ >"Ardan... anak kita..." <br/ > <br/ >Ardan memeluk Zara erat, air matanya menetes. "Kita akan baik-baik saja, Zara. Kita akan baik-baik saja." <br/ > <br/ >Di rumah sakit, Zara terbaring lemah. Ardan setia menemaninya, tangannya menggenggam erat tangan Zara. <br/ > <br/ >"Zara, maaf. Maaf gue gak bisa ngelarang lo. Maaf gue gak bisa ngelindungin lo." <br/ > <br/ >Zara tersenyum lemah, "Gak apa-apa, Ardan. Gue bahagia. Gue bahagia bisa balapan terakhir kali." <br/ > <br/ >Ardan mencium kening Zara, matanya berkaca-kaca. "Gue sayang lo, Zara. Gue sayang lo dan anak kita." <br/ > <br/ >Zara memejamkan matanya, senyum tipis terukir di bibirnya. Dia merasakan tangan Ardan menggenggam tangannya erat, merasakan cinta Ardan yang begitu dalam. <br/ > <br/ >Di tengah kesedihan, Ardan menemukan kekuatan. Dia akan terus mencintai Zara, dia akan terus menjaga anak mereka. Dia akan terus hidup, untuk Zara dan anak mereka. <br/ >