Senja di Pelukan Kakak **
** Mentari perlahan meredup, meninggalkan jejak jingga di ufuk barat. Angin sepoi-sepoi berbisik lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Di teras rumah kayu tua, aku duduk berdampingan dengan Kakak, menikmati sisa waktu yang tersisa. Kakak, dengan rambutnya yang mulai memutih di beberapa sisi, tersenyum hangat. Matanya, yang dulu berbinar-binar, kini tampak redup, namun memancarkan kehangatan yang tak terlukiskan. "Kau tahu, Nak," Kakak memulai, suaranya serak namun penuh makna, "Waktu berlalu begitu cepat. Seolah baru kemarin kau masih kecil, berlarian di halaman ini." Aku mengangguk, terhanyut dalam kenangan masa kecil. Saat-saat bermain petak umpet di balik pohon mangga, berburu kupu-kupu di taman, dan bercerita di bawah langit malam yang dihiasi bintang. "Sekarang kau sudah besar, Nak," lanjut Kakak, "Segera kau akan terbang mengejar mimpi-mimpi mu." Rasa haru menyelimuti hatiku. Aku tahu, saatnya untuk melepaskan ikatan, untuk terbang tinggi menggapai cita-cita. Namun, di saat yang sama, aku tak ingin meninggalkan Kakak, sosok yang selalu ada untukku, yang selalu menjagaku. "Aku akan selalu ingat semua yang kau ajarkan, Kak," bisikku, "Kebaikan, kasih sayang, dan semangat untuk terus maju." Kakak tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Itulah harta paling berharga yang bisa kuberikan padamu, Nak. Teruslah terbang, raihlah mimpi-mimpi mu, dan jangan pernah lupakan jalan pulang." Senja semakin meredup, langit berubah menjadi warna ungu tua. Aku memeluk Kakak erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang menenangkan. Di saat-saat seperti ini, aku menyadari betapa beruntungnya aku memiliki Kakak, sosok yang selalu ada untukku, yang selalu menjagaku, dan yang selalu mencintai ku. Sisa waktu yang tersisa, aku habiskan bersama Kakak, menikmati setiap momen, setiap kata, setiap senyuman. Karena aku tahu, waktu tak akan pernah kembali, dan kenangan ini akan selalu terukir di hatiku.