Durkheim dan Marx: Dua Perspektif Berbeda dalam Memahami Fenomena Sosial
Dunia sosial, dengan segala kompleksitas dan dinamikanya, telah lama menjadi objek studi yang menarik bagi para pemikir. Dua tokoh besar yang memberikan sumbangsih penting dalam memahami fenomena sosial adalah Émile Durkheim dan Karl Marx. Keduanya menawarkan perspektif yang berbeda, namun sama-sama memberikan landasan yang kuat dalam sosiologi modern. Perbedaan mendasar antara Durkheim dan Marx terletak pada fokus analisis dan asumsi dasar mereka tentang masyarakat.
Solidaritas Sosial: Landasan Keteraturan Sosial Menurut Durkheim
Bagi Durkheim, masyarakat bukanlah sekadar kumpulan individu, melainkan sebuah entitas yang utuh dan memiliki realitasnya sendiri. Fenomena sosial, menurutnya, harus dipahami dalam konteks struktur dan fungsi sosial yang lebih luas. Durkheim menekankan pentingnya solidaritas sosial sebagai perekat yang mempersatukan individu dalam masyarakat. Solidaritas ini, menurutnya, dapat berbentuk mekanik, yang didasarkan pada kesamaan nilai dan kepercayaan, atau organik, yang muncul dari saling ketergantungan dalam pembagian kerja yang kompleks.
Durkheim melihat fenomena sosial seperti kejahatan dan agama sebagai elemen penting dalam menjaga solidaritas sosial. Kejahatan, misalnya, meskipun dianggap sebagai disfungsi, justru dapat memperkuat kesadaran kolektif dan menegaskan kembali nilai-nilai bersama. Sementara itu, agama, dengan ritual dan simbol-simbolnya, berperan dalam memperkuat ikatan sosial dan menciptakan rasa kebersamaan.
Konflik Kelas: Motor Perubahan Sosial dalam Pandangan Marx
Berbeda dengan Durkheim, Marx melihat fenomena sosial sebagai produk dari pertentangan dan konflik kelas. Ia berpendapat bahwa sejarah manusia adalah sejarah pertarungan kelas, di mana kelas yang menguasai alat produksi (ekonomi) akan mendominasi dan mengeksploitasi kelas yang tidak memiliki alat produksi. Dalam masyarakat kapitalis, konflik utama terjadi antara kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar (buruh).
Marx berargumen bahwa fenomena sosial seperti kemiskinan, alienasi, dan revolusi bukanlah kejadian yang acak, melainkan konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang eksploitatif. Ia percaya bahwa perubahan sosial hanya dapat dicapai melalui revolusi proletariat, di mana kaum buruh akan merebut alat produksi dan menciptakan masyarakat sosialis yang adil dan merata.
Durkheim dan Marx, meskipun memiliki perbedaan pandangan yang signifikan, sama-sama memberikan kontribusi penting dalam memahami fenomena sosial. Durkheim, dengan penekanannya pada solidaritas sosial, memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana masyarakat dapat mempertahankan keteraturan dan kohesi. Sementara itu, Marx, dengan analisisnya tentang konflik kelas, memberikan alat untuk mengkritisi ketidakadilan sosial dan mendorong perubahan menuju masyarakat yang lebih adil.
Pemikiran kedua tokoh ini tetap relevan hingga saat ini, memberikan inspirasi bagi para sosiolog dan ilmuwan sosial lainnya dalam menganalisis berbagai fenomena sosial kontemporer, mulai dari isu kesenjangan sosial, globalisasi, hingga gerakan sosial baru.