Flexing: Sebuah Refleksi Stratifikasi Sosial di Era Digital **
1. Fenomena Flexing: Sebuah Perburuan Eksistensi di Dunia Maya Artikel "Journal: Fenomena Flexing Pamer Harta Demi Eksistensi" di Liputan6.com mengungkap fenomena "flexing" sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan dan eksistensi di era digital. Media sosial, dengan algoritmanya yang mementingkan popularitas dan jumlah pengikut, menjadi panggung bagi individu untuk memamerkan kekayaan dan gaya hidup mereka. "Flexing" menjadi sebuah strategi untuk meraih status sosial dan mendapatkan validasi dari dunia maya. 2. Gaya Hidup Konsumeris dan Perburuan Validasi Budaya konsumerisme yang dipromosikan oleh media sosial mendorong individu untuk mengejar gaya hidup mewah dan menunjukkannya kepada dunia. "Flexing" menjadi cerminan dari keinginan untuk diakui dan divalidasi oleh masyarakat. Individu merasa terdorong untuk menunjukkan kekayaan dan gaya hidup mereka sebagai bukti keberhasilan dan eksistensi. 3. Stratifikasi Sosial: Kesenjangan yang Terus Melebar Fenomena "flexing" memperkuat stratifikasi sosial dengan menciptakan kesenjangan yang lebih besar antara mereka yang mampu menunjukkan kekayaan dan mereka yang tidak. Media sosial, dengan algoritmanya yang mementingkan popularitas dan jumlah pengikut, memberikan keuntungan bagi mereka yang memiliki modal ekonomi dan modal simbolik yang lebih banyak. Hal ini dapat menciptakan tekanan bagi individu untuk mencapai status sosial tertentu, yang pada akhirnya dapat memperburuk kesenjangan sosial. 4. Refleksi dari Pemikiran Tokoh Teori Pemikiran Pierre Bourdieu tentang "modal" dan "reproduksi sosial" dapat membantu kita memahami fenomena "flexing". "Flexing" dapat diartikan sebagai cara untuk menunjukkan modal ekonomi dan modal simbolik. Media sosial, menurut Bourdieu, dapat mereproduksi ketidaksetaraan sosial dengan memberikan keuntungan bagi mereka yang memiliki modal yang lebih banyak. Anthony Giddens, dengan teorinya tentang "mobilitas struktural", menunjukkan bahwa media sosial dan budaya konsumerisme dapat menciptakan peluang baru untuk mencapai status sosial. Namun, peluang ini juga dapat memperkuat struktur sosial yang ada, yang pada akhirnya dapat memperburuk kesenjangan sosial. Robert Merton, dengan teorinya tentang "anomie" dan "deviasi", menjelaskan bahwa "flexing" dapat diartikan sebagai bentuk deviasi dari norma sosial yang disebabkan oleh ketidaksesuaian antara tujuan sosial (mencapai status sosial) dan cara yang sah untuk mencapainya. 5. Kesimpulan: Sebuah Tantangan untuk Menata Ulang Nilai Fenomena "flexing" merupakan refleksi dari stratifikasi sosial di era digital. Media sosial dan budaya konsumerisme telah menciptakan sebuah sistem nilai baru yang mementingkan popularitas, kekayaan, dan penampilan. Hal ini dapat menciptakan tekanan bagi individu untuk mencapai status sosial tertentu, yang pada akhirnya dapat memperburuk kesenjangan sosial. Kita perlu menata ulang nilai-nilai kita dan fokus pada hal-hal yang lebih bermakna, seperti kebahagiaan, kepuasan, dan kontribusi terhadap masyarakat. Catatan:** Artikel ini hanya membahas satu aspek dari stratifikasi sosial, yaitu pengaruh gaya hidup. Stratifikasi sosial adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kelas sosial, ras, gender, dan pendidikan. Artikel ini tidak membahas solusi untuk mengatasi masalah stratifikasi sosial yang diperparah oleh gaya hidup saat ini.