Suatu Siang
Suatu siang yang panas, saya duduk di kursi beton di bawah pohon ketapang. Angin yang semula tenang, kini berputar-putar dengan liar, menghamparkan daun-daun kering dan ranting-ranting. Meskipun panas semakin terasa, saya tetap bertahan di tempat itu. Ada sesuatu yang lebih penting yang harus saya lakukan, yaitu menunggu Bentang, teman baik saya, yang biasanya salat dhuhur di masjid di serambi kanan. Tidak lama kemudian, Bentang datang dengan motor kalongnya. Ada kekhawatiran dalam suaranya ketika dia bertanya, "Ke mana saja kamu, Rin?" Tanpa menutupi apa pun, saya menceritakan semua yang telah saya alami. Entah mengapa, saya merasa Bentang adalah orang yang paling tepat untuk mendengarkan cerita saya. Saya meminta bantuan padanya untuk mencarikan pekerjaan. Bentang menatap saya dengan tidak percaya. "Benar kau mau bekerja?" tanyanya. "Iya, Ben. Itu satu-satunya solusi. Tidak ada pilihan lain. Demi ibu," jawab saya. "Kau tidak malu?" tanya Bentang. "Mengapa harus malu? Hanya saja dulu saya tidak pernah memikirkannya. Ada ibu yang selalu berusaha mencukupi kebutuhan kami," jawab saya. "Biasanya mahasiswa malu bekerja," goda Bentang, "mereka lebih suka nongkrong di mall atau ngobrol di café." "Ini solusiku, Ben. Dan kamu sendiri juga bekerja sambil kuliah," jawab saya. "Jangan samakan aku dengan yang lain, Rin. Aku terpaksa. Jika punya kesempatan, mungkin aku juga akan seperti mereka. Tapi ini yang bisa saya lakukan sambil menyelesaikan skripsi. Kuliah tetap berjalan. Sedikit untung bisa saya tabung untuk persiapan masuk S2," ungkap Bentang sambil memandang ke pucuk-pucuk ketapang yang terombang-ambing. "Itu yang membuat saya kagum padamu," kata saya spontan. Bentang terkejut dan menatap saya. "Heh, benarkah kamu kagum padaku?" tanya Bentang heran. Aneh, apa yang saya katakan tadi hingga membuat Bentang terkejut.