Pujian yang Tidak Tercukupi: Kisah Mardanu
Mardanu, seorang pria berusia lima puluhan, merasa terbebani oleh pujian yang sering dia terima. Pujian-pujian ini seringkali tidak beralasan dan membuatnya merasa tidak nyaman. Misalnya, ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada yang memujinya karena uangnya diterima utuh tanpa utang. Atau ketika berolahraga jalan kaki, orang-orang memujinya karena badannya tampak segar dan kaki-kakinya tetap kekar. Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga sering menjadi bahan pujian. Bahkan seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tidak luput dari pujian. "Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah dan cerewet kicaunya," kata salah satu tetangganya. Mardanu merasa pujian-pujian ini tidak pantas diberikan kepadanya. Baginya, pujian hanya layak diberikan kepada orang yang telah melakukan pekerjaan luar biasa dan berharga dalam kehidupan. Mardanu merasa belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Dari sejak muda sampai menjadi kakek-kakek, dia belum berbuat jasa apa pun. Ini yang membuatnya menderita karena pujian itu seperti menyindir-nyindirnya. Enam puluh tahun yang lalu, ketika bersekolah, Mardanu sering melihat gambar para pahlawan dan tokoh bangsa yang telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya. Dia juga tahu dari cerita orang-orang bahwa pamannya sendiri adalah seorang pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman karena jasa-jasanya yang besar. Mardanu merasa bahwa pujian yang dia terima tidak sebanding dengan jasa-jasa yang dilakukan oleh para pahlawan dan tokoh bangsa. Dia merasa bahwa pujian-pujian tersebut hanya mengecilkan dirinya dan tidak memberikan kepuasan sejati. Mardanu berharap bahwa suatu hari nanti, dia bisa melakukan sesuatu yang benar-benar berharga sehingga layak mendapatkan pujian yang sepadan dengan jasa-jasanya.