Warisan Kolonial dalam Hukum Pidana Indonesia: Mengapa Kita Masih Menggunakan KUHP Belanda? **
Indonesia, negara dengan sejarah panjang dan budaya yang kaya, masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan kolonial Belanda. Mengapa hal ini terjadi? Dan apakah KUHP kolonial masih relevan dengan perkembangan zaman? Perlu kita pahami bahwa KUHP Belanda diberlakukan di Indonesia pada tahun 1918, jauh sebelum kemerdekaan. Sistem hukum ini dirancang untuk mengontrol dan mengatur masyarakat di bawah kekuasaan kolonial. Seiring berjalannya waktu, Indonesia mengalami perubahan besar, baik dalam hal sosial, budaya, maupun politik. Namun, KUHP Belanda tetap bertahan, menjadi warisan sejarah yang masih melekat hingga saat ini. Ada beberapa faktor yang menyebabkan KUHP Belanda tetap digunakan di Indonesia: * Kurangnya political will: Perubahan sistem hukum membutuhkan komitmen politik yang kuat. Proses revisi KUHP membutuhkan waktu yang lama dan melibatkan berbagai pihak, termasuk para ahli hukum, politikus, dan masyarakat. Kurangnya political will menjadi penghambat utama dalam proses revisi. * Kompleksitas sistem hukum: Sistem hukum Indonesia sangat kompleks, dengan berbagai peraturan dan undang-undang yang saling terkait. Revisi KUHP harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan konflik antar peraturan. * Kekhawatiran terhadap perubahan: Ada kekhawatiran bahwa revisi KUHP akan memicu ketidakstabilan sosial dan politik. Beberapa pihak khawatir bahwa perubahan sistem hukum akan mengancam nilai-nilai budaya dan moral yang dianut masyarakat. Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah KUHP kolonial masih relevan dengan perkembangan zaman? Jawabannya adalah tidak. KUHP Belanda dirancang untuk masyarakat kolonial, dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dengan masyarakat Indonesia saat ini. Beberapa pasal dalam KUHP Belanda dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan hak asasi manusia. Sebagai contoh, pasal tentang penghinaan terhadap penguasa dianggap tidak relevan dengan sistem demokrasi di Indonesia. Pasal tentang pelacuran juga dianggap diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Selain itu, KUHP Belanda tidak mengakomodasi perkembangan teknologi dan kejahatan transnasional yang semakin marak terjadi. Oleh karena itu, revisi KUHP menjadi sangat penting untuk menyesuaikan sistem hukum dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini. Revisi KUHP harus dilakukan dengan mempertimbangkan nilai-nilai Pancasila, hak asasi manusia, dan perkembangan zaman. Proses revisi harus melibatkan berbagai pihak, termasuk para ahli hukum, politikus, dan masyarakat, agar menghasilkan sistem hukum yang adil, demokratis, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Penutup:** Warisan kolonial dalam bentuk KUHP Belanda masih melekat di Indonesia. Meskipun ada beberapa faktor yang menghambat revisi, kebutuhan untuk menyesuaikan sistem hukum dengan perkembangan zaman semakin mendesak. Revisi KUHP harus dilakukan dengan hati-hati dan melibatkan berbagai pihak agar menghasilkan sistem hukum yang adil, demokratis, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Semoga revisi KUHP dapat segera terwujud dan menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan hukum di Indonesia.