Peran PKI dalam mendapatkan citra positif di depan Presiden Soekarno
PKI, atau Partai Komunis Indonesia, adalah partai politik yang berusaha mendapatkan citra positif di depan Presiden Soekarno. Untuk mencapai tujuan ini, PKI menerapkan strategi yang disebut "menempel" pada Presiden Soekarno. Dengan cara ini, PKI berusaha memperoleh citra sebagai pendukung kebijakan Presiden Soekarno yang menguntungkannya. Strategi ini diungkapkan oleh D.N Aidit, yang mengatakan bahwa Manipol, atau kebijakan Presiden Soekarno, sama dengan melaksanakan PKI. Aidit juga mengatakan bahwa hanya kaum Manipolis yang munafik dan kaum reaksioner yang berusaha menghambat dan menyabot Manipol. PKI mampu memanfaatkan ajaran Nasakom, yang diciptakan oleh Presiden Soekarno, sebaik mungkin. Melalui Nasakom, PKI mendapatkan tempat yang sah dalam konstelasi politik Indonesia, dan posisi PKI semakin kuat dan respektabilitasnya sebagai kekuatan politik meningkat. Bahkan ketika Presiden Soekarno akan membubarkan partai melalui penetapan presiden, konsep awal yang disebutkan bahwa partai yang akan dibubarkan adalah partai yang memberontak. Namun, dalam keputusan final, Presiden Soekarno meminta ditambahkan kata "sedang" di depan kata "memberontak," sehingga rumusannya berbunyi "sedang memberontak karena para pemimpinnya turut dalam pemberontakan." Sesuai dengan rumusan itu, calon partai yang kuat untuk dibubarkan hanya Masyumi dan PSI. Sebaliknya, PKI, yang pernah memberontak pada tahun 1948, terhindar dari pembubaran. PKI juga melakukan berbagai upaya untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. Berbagai slogan disampaikan oleh pemimpin PKI, Aidit, seperti "Siapa setuju Nasakom harus setuju Pancasila." Berbagai pidato Soekarno dikutip dan disesuaikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah sejalan dengan gagasan dan cita-cita PKI. PKI terus meningkatkan kegiatannya dengan berbagai isu yang memberikan citra kepada PKI sebagai partai paling Manipolis dan pendukung Presiden Soekarno yang paling setia. Ketika Presiden Soekarno gagal membentuk Kabinet Gotong Royong (Nasakom) pada tahun 1960 karena mendapat tentangan dari kalangan Islam dan TNI AD, PKI mendapat kompensasi tersendiri dengan memperoleh kedudukan dalam MPRS, DPR-GR, DPA, dan Pengurus Besar Front Nasional serta dalam Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR). Kondisi ini mendorong pimpinan TNI AD berusaha untuk mengimbanginya dengan berbagai tindakan, seperti mengeluarkan pernyataan yang mengkritik PKI dan mengadakan demonstrasi yang mengkritik PKI. Sebagai kesimpulan, PKI berusaha mendapatkan citra positif di depan Presiden Soekarno dengan menerapkan strategi "menempel" pada Presiden Soekarno dan memanfaatkan ajaran Nasakom. Melalui berbagai upaya, seperti mengeluarkan slogan dan mengkritik PKI, PKI berhasil memperoleh dukungan politik dari masyarakat dan mendapatkan tempat yang sah dalam konstelasi politik Indonesia.