Senyum Ibu di Balik Kaca Mata **
** Matahari sore menerobos jendela kamar, menyapa wajah Ibu yang sedang menjahit. Jarum jahit bergerak lincah di antara kain, mengikuti irama detak jantungnya yang berdebar. Hari ini, Ibu menerima kabar yang tak terduga dari teman anaknya, Rara. Rara, anak perempuan Ibu yang sudah duduk di bangku SMA, ternyata berpacaran dengan seorang anak SD. Rasa terkejut dan tak percaya bercampur aduk dalam dada Ibu. Bayangan Rara yang masih kecil, yang dulu selalu bermanja padanya, kini telah tumbuh menjadi gadis remaja. Namun, bagaimana bisa Rara memilih seorang anak SD sebagai kekasihnya? Ibu mencoba memahami. Ia ingat masa mudanya, saat ia sendiri jatuh cinta pada seorang pemuda yang lebih tua. Ia tahu, cinta tak mengenal usia. Namun, rasa khawatir tetap menghantuinya. Bagaimana Rara bisa serius dengan hubungan ini? Bagaimana jika Rara terluka? Ibu memutuskan untuk berbicara dengan Rara. Dengan lembut, ia menanyakan alasan Rara memilih anak SD sebagai kekasihnya. Rara tersenyum, matanya berbinar. Ia bercerita tentang kebaikan dan kepolosan kekasihnya. Ia merasa nyaman dan bahagia bersama anak itu. Ibu mendengarkan dengan saksama. Ia melihat ketulusan di mata Rara. Ia tahu, Rara bukanlah anak yang mudah terpengaruh. Ia percaya, Rara mampu memilih jalan yang terbaik untuk dirinya. Ibu tersenyum. Ia menyadari, tugasnya bukanlah melarang Rara, melainkan membimbingnya. Ia akan tetap menjadi tempat Rara bercerita, tempat Rara mencari sandaran. Ia akan mengajarkan Rara untuk mencintai dengan bijak, untuk menghargai setiap momen, dan untuk selalu menjaga hati. Senyum Ibu terpancar di balik kaca mata. Ia percaya, Rara akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, baik dengan anak SD itu atau dengan orang lain di masa depan. Yang terpenting, Rara tetap menjadi anak perempuannya yang penuh kasih dan semangat.