Konsep Kasih dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Kasih merupakan tema sentral yang meresapi seluruh kitab suci, menghubungkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam narasi ilahi yang kohesif. Namun, eksplorasi kasih dalam kedua perjanjian ini mengungkapkan dimensi dan nuansa yang memperkaya pemahaman kita tentang konsep yang beragam ini.
Ekspresi Kasih dalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, kasih, atau "chesed" dalam bahasa Ibrani, melampaui emosi belaka dan mencakup kesetiaan, belas kasihan, dan kebaikan yang tak tergoyahkan. Kasih ini sering kali diungkapkan dalam konteks perjanjian, yang mengikat Allah dan umat-Nya dalam hubungan timbal balik. Kasih Allah kepada Israel, seperti yang terlihat dalam pembebasan mereka dari perbudakan Mesir dan pemberian Hukum, tidak bergantung pada kelayakan mereka tetapi pada kesetiaan-Nya yang tak tergoyahkan pada janji-janji-Nya.
Kasih Allah yang Tak Bersyarat
Salah satu contoh kasih yang paling mengharukan dalam Perjanjian Lama ditemukan dalam kisah Hosea. Nabi itu diperintahkan untuk menikahi seorang perempuan yang tidak setia, Gomer, sebagai metafora untuk hubungan Allah dengan Israel yang sering kali tidak setia. Meskipun ketidaksetiaan Gomer, Hosea tetap menunjukkan kasih dan pengampunan, yang mencerminkan kasih Allah yang tak bersyarat bagi umat-Nya. Kisah ini dengan kuat menggambarkan kedalaman dan keteguhan kasih ilahi, bahkan dalam menghadapi ketidaklayakan manusia.
Kasih dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, kasih menemukan ekspresinya yang paling lengkap dalam pribadi dan karya Yesus Kristus. Kasih Yesus melampaui kasih Perjanjian Lama dalam hal pengorbanan diri dan jangkauannya yang universal. Dia tidak hanya mengajarkan kasih sebagai perintah yang agung tetapi juga mencontohkannya melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya.
Kasih yang Mentransformasi
Kasih dalam Perjanjian Baru, atau "agape" dalam bahasa Yunani, adalah kasih yang aktif, rela berkorban, dan tidak mementingkan diri sendiri yang mengutamakan kesejahteraan orang lain di atas dirinya sendiri. Kasih ini terungkap dengan jelas dalam kematian Yesus di kayu salib, di mana Dia menanggung dosa seluruh umat manusia sebagai bukti kasih Bapa. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus mendamaikan manusia dengan Allah, membuka jalan bagi mereka untuk mengalami kepenuhan kasih ilahi.
Kasih yang ditunjukkan oleh Yesus menetapkan standar baru bagi para pengikut-Nya. Dia memerintahkan mereka untuk saling mengasihi seperti Dia telah mengasihi mereka, menekankan bahwa kasih adalah ciri khas dari murid-murid-Nya yang sejati. Kasih ini bukan hanya emosi tetapi kekuatan yang mentransformasi yang memungkinkan orang percaya untuk hidup di atas keterbatasan egois mereka dan mencerminkan kasih Allah kepada dunia.
Dari "chesed" Perjanjian Lama hingga "agape" Perjanjian Baru, kasih tetap menjadi tema yang abadi yang menjembatani kesenjangan antara ilahi dan manusia. Baik diungkapkan dalam kesetiaan Allah yang tak tergoyahkan kepada Israel atau dalam pengorbanan Yesus yang rela berkorban, kasih adalah kekuatan pendorong di balik narasi penebusan. Memahami dimensi kasih yang kaya dalam kedua perjanjian ini memperdalam apresiasi kita terhadap kasih Allah yang beraneka ragam dan menantang kita untuk mewujudkan kasih ini dalam interaksi kita sendiri dengan orang lain.