Mencegah Pneumonia pada Anak di Indonesia: Tantangan dan Upaya yang Perlu Dilakukan
Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, terutama pada anak-anak. Meskipun Indonesia telah mencapai peringkat yang tinggi dalam hal pembangunan manusia, namun angka kejadian pneumonia pada anak belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Menurut laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2019, Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 189 negara dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 0,707. Namun, data dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) menunjukkan bahwa pada tahun 2018, sebanyak 19.000 anak balita di Indonesia meninggal akibat pneumonia. Data Kementerian Kesehatan tahun 2019 juga mengungkapkan bahwa terdapat 158.987 kasus pneumonia pada bayi dan 314.455 kasus pada anak usia satu hingga lima tahun. Jumlah kematian akibat penyakit ini mencapai 550 kasus. Namun, angka ini kemungkinan masih lebih tinggi mengingat pencatatan di Indonesia belum sempurna. Beberapa faktor risiko pneumonia pada anak antara lain gizi buruk, rendahnya pemberian ASI eksklusif, pemberian imunisasi yang tidak lengkap, kekurangan vitamin A, bayi dengan berat badan lahir rendah, dan faktor lingkungan seperti polusi udara. Selama pandemi Covid-19, jumlah anak yang tertular dan meninggal akibat pneumonia dapat meningkat. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat pneumonia sebenarnya dapat dicegah melalui imunisasi dan beberapa upaya lain yang hemat biaya serta dapat diobati dengan antibiotik berbiaya murah. Pemerintah Indonesia telah menyampaikan komitmen tinggi terkait upaya nasional untuk program pencegahan dan pengendalian pneumonia. Beberapa jenis vaksin yang dapat mencegah pneumonia telah ditambahkan ke program imunisasi rutin nasional secara bertahap, seperti vaksin Campak, vaksin Haemophilus influenzae tipe b, dan vaksin Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV). Namun, tantangan yang dihadapi adalah rendahnya cakupan imunisasi dasar di Indonesia, termasuk vaksin campak yang hanya mencapai 58,9 persen secara nasional. Selain itu, prevalensi stunting anak di Indonesia mencapai 27,67 persen, gizi buruk mencapai 16,29 persen, ASI eksklusif hanya mencapai 54 persen, bayi dengan berat badan lahir rendah masih mencapai 10,2 persen, dan paparan polusi udara di ruang tertutup, terutama akibat asap rokok, juga menjadi faktor risiko pneumonia. Untuk itu, diperlukan upaya yang lebih serius dalam memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program pencegahan pneumonia di lapangan. Selain itu, faktor risiko pneumonia seperti gizi buruk, rendahnya cakupan imunisasi, dan paparan polusi udara juga perlu ditangani secara komprehensif. Dengan adanya upaya yang terkoordinasi dan berkelanjutan, diharapkan angka kejadian pneumonia pada anak di Indonesia dapat dikurangi secara signifikan.