Sejarah dan Evolusi Tarawih Delapan Rakaat di Indonesia
Di tengah lantunan ayat suci Al-Quran dan gemerlap lampu masjid yang menghiasi malam, umat Muslim di Indonesia khusyuk menunaikan shalat Tarawih. Tradisi yang melekat erat dengan bulan suci Ramadhan ini memiliki keunikan tersendiri, khususnya terkait jumlah rakaat yang dipraktikkan. Mayoritas umat Muslim di Indonesia mengerjakan shalat Tarawih sebanyak delapan rakaat, diikuti dengan shalat Witir tiga rakaat. Sejarah dan evolusi Tarawih delapan rakaat di Indonesia merupakan perjalanan panjang yang diwarnai dengan beragam faktor, mulai dari pengaruh mazhab fikih hingga akulturasi budaya lokal.
Akar Sejarah Tarawih Delapan Rakaat
Shalat Tarawih, sebagaimana namanya yang berasal dari kata "tarwihah" yang berarti rehat atau istirahat, merupakan shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari di bulan Ramadhan. Meskipun dianjurkan, shalat Tarawih bukanlah ibadah wajib. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah SAW pernah menunaikan shalat Tarawih secara berjamaah, namun kemudian beliau meninggalkannya. Hal ini untuk menghindari anggapan bahwa shalat Tarawih merupakan ibadah wajib.
Di masa Khalifah Umar bin Khattab, shalat Tarawih kembali dihidupkan dan dikerjakan secara berjamaah di masjid. Pada masa itu, jumlah rakaat shalat Tarawih belum ditentukan secara pasti. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa jumlah rakaatnya bervariasi, mulai dari delapan hingga dua puluh rakaat.
Pengaruh Mazhab Fikih di Nusantara
Masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi membawa serta pengaruh budaya dan tradisi dari Timur Tengah, termasuk dalam hal praktik keagamaan. Salah satu mazhab fikih yang dominan di Indonesia adalah mazhab Syafi'i. Dalam mazhab Syafi'i, shalat Tarawih dianjurkan untuk dikerjakan sebanyak dua puluh rakaat, dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Namun, di Indonesia, praktik shalat Tarawih delapan rakaat lebih banyak dianut oleh masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari peran ulama dan tokoh agama yang menyebarkan Islam di Nusantara. Mereka berpendapat bahwa shalat Tarawih delapan rakaat lebih ringan dan mudah dijalankan oleh masyarakat yang baru mengenal Islam.
Akulturasi Budaya dan Tradisi Lokal
Selain faktor keagamaan, akulturasi budaya dan tradisi lokal juga turut mewarnai praktik shalat Tarawih di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang telah memiliki tradisi ritual keagamaan pra-Islam mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam budaya lokal.
Shalat Tarawih delapan rakaat dianggap lebih sesuai dengan ritme kehidupan masyarakat Indonesia yang cenderung lebih sederhana dan praktis. Selain itu, durasi shalat Tarawih yang lebih singkat memungkinkan masyarakat untuk tetap dapat beristirahat dengan cukup dan menjalankan aktivitas lainnya di bulan Ramadhan.
Keberagaman dalam Persatuan
Meskipun mayoritas umat Muslim di Indonesia menjalankan shalat Tarawih delapan rakaat, namun terdapat juga sebagian masyarakat yang memilih untuk menunaikannya sebanyak dua puluh rakaat. Perbedaan ini merupakan bentuk keberagaman dalam menjalankan ajaran Islam.
Yang terpenting adalah niat dan keikhlasan dalam beribadah. Semangat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT di bulan suci Ramadhan haruslah menjadi tujuan utama, tanpa harus terpecah belah oleh perbedaan jumlah rakaat shalat Tarawih.
Sejarah dan evolusi Tarawih delapan rakaat di Indonesia merupakan cerminan dari dinamika Islam di Nusantara. Pengaruh mazhab fikih, akulturasi budaya lokal, dan semangat toleransi antarumat beragama telah membentuk wajah Islam Indonesia yang ramah dan moderat. Keberagaman dalam praktik keagamaan, termasuk dalam hal jumlah rakaat shalat Tarawih, hendaknya disikapi dengan bijaksana dan penuh rasa saling menghormati.