Kaca, Cermin, dan Aku **
** Udara pagi yang sejuk menyapa wajahku saat aku berdiri di depan cermin. Cahaya mentari pagi menerobos jendela, menari-nari di permukaan kaca, menciptakan pola-pola yang indah. Aku menatap bayangan diriku di cermin, mengamati setiap lekuk dan garis wajahku. "Cantik?" bisikku pelan. Pertanyaan itu selalu terngiang di benakku. Aku sering mendengar orang-orang memuji kecantikan fisikku. Rambutku yang panjang dan hitam, mata yang tajam, dan kulit yang putih bersih, seringkali menjadi bahan pembicaraan. Namun, aku selalu merasa ada yang kurang. Aku teringat saat aku masih kecil. Aku sering bermain dengan teman-temanku di taman. Kami berlari-lari, tertawa, dan berbagi cerita. Aku merasa bahagia dan bebas. Saat itu, aku tidak pernah memikirkan kecantikan. Aku hanya menikmati masa kecilku yang penuh keceriaan. Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa dunia ini menilai seseorang berdasarkan penampilan. Aku mulai memperhatikan bagaimana orang-orang memandangku, bagaimana mereka bereaksi terhadap kecantikanku. Aku merasa terbebani oleh ekspektasi yang mereka ciptakan. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan pujian yang mereka berikan. Aku merasa seperti objek yang dipandang, bukan manusia yang memiliki perasaan dan pikiran. Aku mulai meragukan diriku sendiri. Apakah aku benar-benar cantik? Apakah kecantikan fisikku adalah satu-satunya hal yang membuatku berharga? Suatu hari, aku bertemu dengan seorang nenek tua di taman. Nenek itu memiliki wajah yang berkerut, rambut yang memutih, dan tubuh yang kurus. Namun, matanya berbinar-binar dengan kecerdasan dan kebaikan. "Kamu cantik, nak," kata nenek itu sambil tersenyum. Aku tercengang. Aku tidak pernah mendengar pujian seperti itu sebelumnya. Aku bertanya kepada nenek itu, "Kenapa Anda bilang saya cantik?" Nenek itu tersenyum lagi. "Karena kamu memiliki hati yang baik, nak. Kamu memiliki jiwa yang indah. Itulah kecantikan yang sesungguhnya." Kata-kata nenek itu membuatku merenung. Aku menyadari bahwa kecantikan bukanlah sekadar penampilan fisik. Kecantikan sejati terletak pada hati, pada jiwa, pada kebaikan yang kita pancarkan kepada dunia. Sejak saat itu, aku mulai melihat kecantikan dengan cara yang berbeda. Aku mulai menghargai kebaikan hati, kecerdasan, dan semangat juang yang dimiliki oleh orang-orang di sekitarku. Aku mulai menyadari bahwa kecantikan sejati adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan standar duniawi. Aku masih berdiri di depan cermin, menatap bayangan diriku. Namun, kali ini, aku tidak lagi merasa terbebani oleh ekspektasi. Aku merasa tenang dan damai. Aku tahu bahwa kecantikan sejati terletak di dalam diriku, dan itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah pudar.