Struktur dan Fungsi Pupuh Durma dalam Sastra Sunda
Pupuh Durma merupakan salah satu jenis pupuh yang memiliki karakteristik unik dan peran penting dalam sastra Sunda. Keindahannya terpancar dari struktur yang khas dan fungsinya yang beragam dalam menyampaikan pesan dan cerita.
Karakteristik Pupuh Durma
Pupuh Durma termasuk dalam kategori pupuh Sekar Ageung (sekar ageng), yang berarti memiliki aturan atau patokan yang lebih ketat dibandingkan dengan pupuh Sekar Alit. Aturan tersebut meliputi guru wilangan dan guru lagu. Guru wilangan merujuk pada jumlah baris dalam setiap bait dan jumlah suku kata dalam setiap baris. Pupuh Durma memiliki 8 baris dalam setiap baitnya, dengan jumlah suku kata setiap barisnya adalah 12-8-7-8-8-5-8-12.
Selain guru wilangan, Pupuh Durma juga memiliki guru lagu, yaitu aturan mengenai bunyi vokal di akhir setiap baris. Guru lagu pada Pupuh Durma adalah a-i-u-a-a-i-a-a. Aturan guru wilangan dan guru lagu ini memberikan ciri khas pada Pupuh Durma dan membedakannya dengan jenis pupuh lainnya dalam sastra Sunda.
Fungsi Pupuh Durma dalam Sastra Sunda
Fungsi utama Pupuh Durma adalah sebagai media untuk menyampaikan cerita atau pesan yang sarat akan kesedihan mendalam, kesusahan, dan ratapan. Suasana getir dan penuh kepiluan tergambar jelas melalui diksi dan irama yang digunakan dalam pupuh ini. Penggunaan Pupuh Durma dalam sastra Sunda seringkali dikaitkan dengan tema duka cita, seperti kematian, kehilangan, atau kesengsaraan.
Selain untuk mengungkapkan kesedihan, Pupuh Durma juga berfungsi sebagai media untuk menyampaikan nasihat, petuah, atau amanat. Nasihat yang disampaikan melalui Pupuh Durma biasanya berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan, seperti kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan dalam menghadapi cobaan. Irama yang lambat dan penuh dengan penghayatan membuat pesan moral yang ingin disampaikan melalui Pupuh Durma lebih mudah dicerna dan diresapi maknanya.
Contoh Penerapan Pupuh Durma
Salah satu contoh penerapan Pupuh Durma dalam sastra Sunda adalah pada karya-karya sastra klasik, seperti wawacan dan carita pantun. Dalam wawacan, Pupuh Durma sering digunakan untuk menggambarkan adegan duka cita atau kesedihan mendalam yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Sementara itu, dalam carita pantun, Pupuh Durma dapat dijumpai pada bagian-bagian yang menceritakan tentang kesusahan, kesedihan, atau pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Keberadaan Pupuh Durma dalam kesusastraan Sunda memperkaya khazanah budaya dan tradisi lisan masyarakat Sunda. Melalui Pupuh Durma, nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan keindahan bahasa Sunda dapat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus.
Pupuh Durma, dengan segala keunikan dan fungsinya, merupakan salah satu elemen penting dalam sastra Sunda. Keindahan struktur dan kedalaman maknanya mampu membangkitkan emosi dan menyampaikan pesan moral yang melekat dalam budaya Sunda. Keberadaannya yang terus dilestarikan menjadi bukti nyata kekayaan tradisi lisan dan sastra di tanah Sunda.