Membedah Konsep 'Buang Muka' dalam Sastra Indonesia: Sebuah Tinjauan Literatur

(314 votes)

Frasa 'buang muka' dalam keseharian mungkin terdengar sederhana, namun dalam khazanah sastra Indonesia, ia menjelma menjadi metafora yang sarat makna. Lebih dari sekadar tindakan memalingkan wajah, 'buang muka' merangkum kompleksitas emosi dan konflik batin yang dialami tokoh-tokoh dalam karya sastra. Ia bisa menjadi simbol kekecewaan, kemarahan, bahkan perlawanan terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat. #### Menggali Makna 'Buang Muka' dalam Berbagai Konteks Sastra Penggunaan 'buang muka' dalam sastra Indonesia dapat dijumpai dalam berbagai konteks. Dalam roman klasik, 'buang muka' kerap menggambarkan konflik antara anak dan orang tua. Tokoh anak yang merasa terkekang oleh tradisi dan norma keluarga memilih 'buang muka' sebagai bentuk pemberontakan. Tindakan ini menjadi simbolisasi penolakan terhadap nilai-nilai lama yang dianggap mengungkung. 'Buang muka' juga dapat dimaknai sebagai ekspresi kekecewaan mendalam terhadap suatu kondisi sosial. Sastra Indonesia periode pasca-kemerdekaan misalnya, banyak menampilkan tokoh yang 'buang muka' terhadap ketidakadilan dan kemiskinan yang merajalela. Tindakan ini merupakan wujud protes atas realitas pahit yang kontras dengan janji-janji kemerdekaan. #### 'Buang Muka' sebagai Refleksi Dinamika Sosial Menarik untuk mencermati bagaimana 'buang muka' merefleksikan dinamika sosial yang terjadi. Pada era kolonial, 'buang muka' kerap menjadi simbol perlawanan rakyat pribumi terhadap penindasan. Tokoh-tokoh dalam karya sastra periode ini menggunakan 'buang muka' sebagai bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan penguasa kolonial. Memasuki era modern, 'buang muka' mengalami pergeseran makna. Ia tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan fisik, tetapi juga terhadap tekanan sosial dan budaya. Tokoh-tokoh dalam karya sastra kontemporer 'buang muka' terhadap standar ganda moral, diskriminasi, dan berbagai bentuk ketidakadilan sosial lainnya. #### Representasi 'Buang Muka' dalam Karya Sastra Terkenal Salah satu contoh representasi 'buang muka' yang kuat dapat ditemukan dalam novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" karya Hamka. Zainuddin, tokoh utama dalam novel tersebut, 'buang muka' dari kehidupan lama dan lingkungan sosialnya setelah cintanya ditolak. Tindakan ini menjadi simbol kekecewaan mendalam dan tekad untuk membangun kehidupan baru. Contoh lain dapat dilihat dalam cerpen "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis. Tokoh Garin 'buang muka' dari ajaran agama yang dianggapnya munafik. Ia memilih jalan hidup sendiri yang dianggapnya lebih jujur, meskipun harus berhadapan dengan stigma dan penolakan dari masyarakat. #### 'Buang Muka': Sebuah Eksplorasi Identitas dan Keberanian Melalui berbagai contoh dalam karya sastra Indonesia, 'buang muka' tidak hanya menjadi tindakan fisik semata, melainkan sebuah simbol yang kompleks. Ia merepresentasikan pergolakan batin, pencarian jati diri, dan keberanian untuk melawan arus. 'Buang muka' menjadi cerminan dari kompleksitas manusia dalam menghadapi realitas sosial yang penuh tantangan. Penggunaan 'buang muka' dalam sastra Indonesia memberikan perspektif yang kaya tentang dinamika sosial, budaya, dan psikologis masyarakat Indonesia. Ia mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai yang dianut, serta keberanian untuk memperjuangkan keyakinan dan identitas diri.