Senyum yang Tertunda **

4
(302 votes)

** Matahari pagi menyapa dengan hangat, menerobos celah gorden tipis di kamar Sarah. Sarah menguap, lalu meraih ponselnya. Sebuah pesan dari sahabatnya, Rara, membuatnya terkesiap. "Sarah, kamu udah telat bulan ini?" Sarah mengerutkan kening. Benar juga, siklus bulannya memang terlambat. Namun, Sarah tak terlalu memikirkannya. Ia merasa lelah akhir-akhir ini, tapi tak lebih dari itu. Hari-hari berlalu, Sarah mulai merasakan perubahan. Mual di pagi hari, perut yang terasa lebih sensitif, dan rasa lelah yang tak kunjung hilang. Sarah mulai curiga. Ia membeli test pack di apotek dan dengan jantung berdebar, ia melakukan tes. Dua garis merah muncul di layar. Sarah terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tak percaya. Bagaimana bisa? Ia masih muda, masih banyak mimpi yang ingin ia raih. Sarah bercerita pada Rara. Rara, yang selalu menjadi tempat curhatnya, langsung memeluk Sarah erat. "Tenang, Sarah. Kita hadapi bersama," bisik Rara. Rara mengajak Sarah ke dokter kandungan. Dokter memastikan kehamilan Sarah. Sarah merasa dunia seakan runtuh. Ia takut, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa. Namun, perlahan, Sarah mulai menerima kenyataan. Ia menyadari bahwa dirinya bukan sendirian. Rara selalu ada di sisinya, memberikan dukungan dan semangat. Keluarga Sarah pun, meski awalnya terkejut, akhirnya menerima dengan lapang dada. Sarah mulai belajar tentang kehamilan, tentang tanggung jawab yang akan ia emban. Ia mulai merasakan sebuah ikatan yang kuat dengan si kecil yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Senyum Sarah yang sempat tertunda, kini mulai merekah. Ia menyadari bahwa kehamilan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah perjalanan baru. Perjalanan yang penuh tantangan, namun juga penuh cinta dan harapan. Sarah yakin, ia akan menjadi ibu yang baik, dan ia akan mencintai anak yang sedang ia kandung dengan sepenuh hati.