Aroma Kopi Dago dan Rahasia Masa Lalu
Bab 1: Kabut Pagi di Dago Kabut pagi menyelimuti perbukitan Dago, dinginnya menusuk kulit. Aroma kopi robusta, kuat dan hangat, bercampur dengan udara sejuk yang membawa aroma tanah basah. Saya, Alya, menghirupnya dalam-dalam, menikmati sensasi itu sebelum kembali fokus pada buku teks Sosiologi di tangan. Tugas akhir semester menumpuk, deadline semakin dekat, tapi pagi ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang menenangkan di tengah hiruk pikuk kota yang biasanya membuat saya stres. Kafe sederhana di pinggir jalan ini menjadi tempat favorit saya untuk belajar. Suasananya tenang, jauh dari keramaian kampus. Saya memesan kopi susu, menikmati hangatnya yang menenangkan saraf-saraf yang tegang. Saat asyik membaca tentang teori-teori sosial, pandangan saya tak sengaja bertemu dengan sepasang mata cokelat yang hangat. Lelaki itu duduk di meja seberang, senyum tipisnya menyapa saya. Ia tampak sedang membaca buku, rambutnya sedikit berantakan, tapi ada aura kecerdasan yang terpancar darinya. Ada sesuatu yang menarik perhatian saya, sebuah getaran yang tak bisa saya jelaskan. Kami tak saling bicara, hanya tatapan singkat yang terasa bermakna. Namun, tatapan itu cukup untuk membuat hari saya terasa lebih berwarna. Beban tugas kuliah yang menumpuk seakan sedikit berkurang. Aroma kopi Dago pagi ini terasa lebih harum, lebih menenangkan. Entah mengapa, pertemuan singkat itu meninggalkan jejak yang kuat dalam hati saya. Sebuah rasa penasaran, sebuah harapan akan pertemuan selanjutnya. Saya tak menyangka, pertemuan tak terduga di kafe sederhana ini akan menjadi awal dari sebuah petualangan yang tak terduga, sebuah simpul yang akan mengungkap rahasia masa lalu yang terkubur dalam ingatan. Rahasia yang menghubungkan saya dengan lelaki bermata cokelat itu, dengan cara yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.