Lidah dan Kekuasaan: Analisis Wacana Kritis tentang Bahasa dan Dominasi di Era Digital
Di era digital yang serba cepat ini, bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga medan pertempuran untuk kekuasaan dan dominasi. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai "lidah dan kekuasaan," menunjukkan bagaimana bahasa, terutama dalam bentuknya yang digital, dapat digunakan untuk membentuk opini publik, mengendalikan narasi, dan pada akhirnya, menegaskan dominasi.
Bahasa sebagai Instrumen Kekuasaan di Era Digital
Bahasa, dalam konteks digital, memiliki daya jangkau dan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Platform media sosial, situs web, dan aplikasi pesan instan telah menjadi arena baru bagi penyebaran informasi, baik yang benar maupun yang salah. Aktor-aktor yang kuat, baik itu pemerintah, perusahaan, atau individu berpengaruh, memanfaatkan platform ini untuk menyebarkan ideologi mereka, membangun citra positif, dan membungkam suara-suara yang tidak sejalan.
Penggunaan algoritma dan analisis data semakin memperkuat hubungan antara lidah dan kekuasaan di era digital. Algoritma media sosial, yang dirancang untuk memprioritaskan konten yang menarik, dapat dengan mudah dimanipulasi untuk menciptakan ruang gema dan memperkuat bias konfirmasi. Hal ini memungkinkan informasi yang bias dan bahkan menyesatkan untuk menyebar dengan cepat dan luas, memperkuat dominasi narasi tertentu.
Dominasi Bahasa dan Penindasan Digital
Fenomena lidah dan kekuasaan juga memiliki sisi gelap, yaitu penindasan digital. Individu atau kelompok yang tidak memiliki akses ke platform digital atau tidak fasih dalam bahasa dominan di dunia maya seringkali terpinggirkan dan suaranya tidak terdengar. Mereka menjadi korban bias algoritma, ujaran kebencian online, dan kampanye disinformasi yang menargetkan mereka berdasarkan bahasa dan identitas mereka.
Penindasan digital dapat mengambil berbagai bentuk, mulai dari pelecehan online dan doxing hingga sensor dan pembungkaman sistematis. Dalam beberapa kasus, lidah yang digunakan untuk menegaskan dominasi bahkan dapat menghasut kekerasan dan diskriminasi di dunia nyata, menunjukkan hubungan yang kompleks dan meresahkan antara bahasa online dan offline.
Menolak Dominasi: Literasi Digital dan Pemberdayaan Bahasa
Untuk melawan dominasi lidah dan kekuasaan di era digital, diperlukan upaya kolektif untuk mempromosikan literasi digital dan pemberdayaan bahasa. Literasi digital memberdayakan individu untuk menavigasi lanskap digital secara kritis, mengidentifikasi informasi yang bias, dan melawan manipulasi online.
Pemberdayaan bahasa, di sisi lain, berfokus pada pelestarian dan promosi keragaman bahasa di dunia maya. Hal ini dapat dicapai dengan mendukung penggunaan bahasa ibu di platform digital, mengembangkan alat terjemahan yang inklusif, dan melawan penindasan bahasa dalam segala bentuknya.
Fenomena lidah dan kekuasaan menyoroti pentingnya bahasa dalam membentuk lanskap digital dan dampaknya terhadap dinamika kekuasaan di dunia nyata. Dengan memahami bagaimana bahasa dapat digunakan untuk menegaskan dominasi dan melakukan penindasan, kita dapat mulai membangun ruang digital yang lebih adil, inklusif, dan memberdayakan bagi semua orang.