Rasa yang Terlupakan **
Bab 1: Pertemuan Tak Terduga** Mentari pagi menyapa Bandung dengan hangat, menyapa Ghaisani Jelita yang baru saja turun dari bus di terminal Cicaheum. Udara sejuk khas kota kembang langsung menerpa wajahnya, membawa aroma kopi dan rempah yang familiar. Gaisani menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar yang terasa berbeda dengan udara di kota asalnya. Ia baru saja menginjakkan kaki di Bandung, kota yang akan menjadi rumah barunya selama empat tahun ke depan. Gaisani, gadis berambut panjang lurus dan bermata cokelat, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang di sekelilingnya. Ia terpesona oleh pemandangan kota yang penuh dengan kehidupan. Sejak SMA, Ghaisani memang bercita-cita untuk menjejakkan kaki di kota Bandung, kota yang terkenal dengan universitas-universitas ternama dan atmosfer akademis yang kental. Mimpi itu akhirnya terwujud, ia diterima di program studi Sosiologi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). "Gaisani, kamu di sini?" Suara itu membuat Ghaisani tersentak. Ia menoleh dan mendapati seorang pria tinggi dengan rambut sedikit berantakan dan senyum yang ramah. Pria itu mengenakan kaos putih dan celana jeans, menenteng tas ransel di punggungnya. "Kak Arga?" tanya Ghaisani, suaranya sedikit gemetar. Arga mengangguk, "Iya, aku Arga. Kamu Ghaisani, kan?" Gaisani mengangguk, "Iya, Kak. Kok kamu tahu aku di sini?" "Aku dapat kabar dari temanmu, Rara. Dia bilang kamu akan datang hari ini. Aku sekalian mau nganterin kamu ke kosan," jelas Arga. Gaisani tercengang. Rara, teman SMA-nya, ternyata sudah berteman dengan Arga. Gaisani hanya pernah mendengar nama Arga dari Rara, seorang mahasiswa di Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang dikenal cerdas dan humoris. "Oh, ya. Terima kasih, Kak," kata Ghaisani, sedikit gugup. Arga tersenyum, "Sama-sama. Ayo, aku anterin ke kosan." Gaisani mengikuti Arga menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Sepanjang perjalanan, Arga bercerita tentang kehidupan di Bandung, tentang tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi, dan tentang pengalamannya sebagai mahasiswa. Gaisani mendengarkan dengan saksama, terpesona oleh kecerdasan dan kehangatan Arga. "Ini kosan kamu, Gaisani," kata Arga, menghentikan mobil di depan sebuah rumah sederhana. Gaisani turun dari mobil, "Terima kasih, Kak. Kamu baik banget." "Sama-sama. Kapan-kapan kita ketemu lagi, ya?" kata Arga, menjulurkan tangannya. Gaisani menyambut uluran tangan Arga, "Iya, Kak. Semoga kita bisa ketemu lagi." Arga tersenyum, "Oke. Hati-hati di jalan, Gaisani." Gaisani melambaikan tangan, menyaksikan mobil Arga menghilang di balik tikungan. Ia merasa sedikit kecewa karena pertemuan mereka harus berakhir begitu cepat. Gaisani memasuki kosan, mencari kamar yang sudah dipesan. Ia meletakkan tasnya di atas ranjang dan duduk di tepi jendela, menatap pemandangan kota yang ramai. "Gaisani, kamu sudah sampai?" Suara itu membuat Ghaisani tersentak. Ia menoleh dan mendapati seorang perempuan berambut pendek dan bermata tajam. Perempuan itu tersenyum ramah. "Iya, Kak. Saya Ghaisani," jawab Ghaisani. "Aku Lia, kakak kos kamu. Selamat datang di Bandung, Gaisani," kata Lia. Gaisani tersenyum, "Terima kasih, Kak." Lia mengajak Ghaisani untuk berkeliling kosan. Gaisani bertemu dengan penghuni kosan lainnya, semuanya ramah dan baik hati. Gaisani merasa lega, ia tidak sendirian di kota baru ini. Malam hari, Gaisani duduk di balkon kosan, menikmati secangkir teh hangat. Ia membuka ponselnya, mencari nomor Rara. "Halo, Rara," sapa Ghaisani. "Gaisani, kamu sudah sampai? Bagaimana Bandung?" tanya Rara. "Iya, aku sudah sampai. Bandung bagus banget, Rara. Aku suka," jawab Ghaisani. "Baguslah kalau kamu suka. Kamu ketemu Arga, kan?" tanya Rara. "Iya, aku ketemu Arga. Dia baik banget, Rara. Dia nganterin aku ke kosan," jawab Ghaisani. "Hahaha, Arga memang baik. Kamu suka sama dia, kan?" tanya Rara, suaranya terdengar menggoda. Gaisani terdiam. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa tertariknya pada Arga. "Gaisani, kamu kenapa? Kamu suka sama Arga, kan?" tanya Rara, suaranya terdengar khawatir. Gaisani menghela napas, "Iya, Rara. Aku suka sama Arga. Tapi, aku bingung. Aku baru kenal dia, tapi aku merasa tertarik sama dia." "Kenapa bingung? Kamu kan boleh suka sama siapa aja. Lagian, Arga juga baik kok. Kamu nggak usah khawatir," kata Rara. "Tapi, aku takut. Aku takut kalau aku salah," jawab Ghaisani. "Salah gimana? Kamu kan baru kenal dia. Kamu belum tahu dia seperti apa. Kamu harus kenalan dulu, baru kamu bisa menilai dia," kata Rara. "Iya, kalau gitu. Tapi, aku takut kalau aku jatuh cinta sama dia. Aku takut kalau aku terluka," jawab Ghaisani. "Gaisani, kamu jangan takut. Cinta itu indah. Kamu harus berani untuk merasakannya. Kalau kamu takut terluka, kamu nggak akan pernah merasakan kebahagiaan," kata Rara. Gaisani terdiam. Kata-kata Rara membuatnya merenung. Ia memang harus berani untuk merasakan cinta. Ia tidak boleh takut untuk terluka. "Terima kasih, Rara. Kamu selalu bisa menyemangati aku," kata Ghaisani. "Sama-sama, Gaisani. Aku selalu ada untuk kamu. Kamu harus semangat menjalani kehidupan di Bandung. Kamu pasti bisa," kata Rara. Gaisani tersenyum. Ia merasa lebih tenang setelah berbicara dengan Rara. Ia yakin bahwa ia bisa menjalani kehidupan di Bandung dengan baik. Gaisani menutup telepon dan kembali menatap pemandangan kota yang ramai. Ia merasa bahwa Bandung adalah kota yang penuh dengan misteri. Ia penasaran dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Ia penasaran dengan apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Arga. Gaisani tersenyum. Ia merasa bahwa petualangan barunya baru saja dimulai.