Perjanjian Bongaya: Suatu Titik Balik dalam Sejarah Makassar
Perjanjian Bongaya (1667) menandai babak baru dalam sejarah Makassar. Perjanjian ini, yang dipaksakan oleh VOC, mengakibatkan perubahan signifikan dalam peta politik dan ekonomi kerajaan Gowa. Beberapa poin penting dalam perjanjian tersebut memiliki dampak jangka panjang yang terasa hingga saat ini. Makassar dipaksa mengakui monopoli perdagangan VOC, membatasi wilayah kekuasaannya hanya pada Gowa, dan membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita VOC selama konflik. Pengakuan Aru Palaka sebagai Raja Bone oleh Sultan Hasanuddin juga merupakan bagian penting dari perjanjian ini, menunjukkan pergeseran keseimbangan kekuatan di Sulawesi Selatan. Akses orang asing ke Gowa pun dibatasi hanya untuk VOC, menunjukkan dominasi penuh VOC atas perdagangan dan politik di wilayah tersebut. Hampir semua benteng dihancurkan, kecuali Benteng Rotterdam yang menjadi simbol kekuasaan VOC. Perjanjian Bongaya bukan sekadar serangkaian tuntutan yang dipaksakan. Ia merupakan refleksi dari kekuatan militer dan ekonomi VOC yang jauh lebih unggul dibandingkan kerajaan Gowa. Perjanjian ini menandai berakhirnya era kejayaan kerajaan Gowa dan dimulainya era dominasi VOC di Sulawesi Selatan. Meskipun menyakitkan, Perjanjian Bongaya menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya strategi politik dan kekuatan ekonomi dalam menjaga kedaulatan suatu bangsa. Dari peristiwa ini, kita dapat belajar tentang pentingnya persatuan dan kekuatan dalam menghadapi tantangan eksternal, serta perlunya kebijaksanaan dalam bernegosiasi untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Peristiwa ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Meskipun pahit, sejarah Perjanjian Bongaya tetap menjadi bagian penting dalam membentuk identitas dan jati diri bangsa Indonesia.