Restorasi Meiji: Awal Modernisasi di Jepang
Sebelum era modern, Jepang adalah sebuah negara yang feodalalis. Kaisar, para panglima militer, dan daimyo semuanya memainkan peran penting baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Periode ini sering diwarnai oleh perebutan kekuasaan di antara daimyo dan antara shogun dan kaisar.
Hubungan dengan dunia Barat baru dimulai sejak abad ke-16, ketika para misionaris Serikat Yesus (SJ) dari Portugal menginjakkan kaki di Jepang. Namun, tidak lama setelah itu, reparnya tahun 1639, Shogun Tokugawa menjalankan kebijakan Sakoku, atau "negara tertutup," yang membuat Jepang terisolasi dari dunia luar.
Pada tahun 1797, Amerika Serikat mengirimkan sebuah armada penjelajah angkatan laut dengan persenjataan lengkap ke Jepang. Pada tahun 1837, seorang pebisnis Amerika yang lama berbisnis di Canton, Cina berusaha masuk ke Jepang, tetapi diusir. Pada tahun 1846, Komodor James Biddle, yang dikirim oleh pemerintah Amerika Serikat untuk membuka perdagangan berfabuh di Teluk Tokyo dengan dua kapal; satu kapal perang dengan persenjataan lengkap. Usahanya untuk mewujudkan perjanjian perdagangan tidak berhasil. Pada tahun 1849, Kapten James Glynn memberikan rekomendasi kepada Kongres Amerika yang kelak membuka jalan bagi keberhasilan misi Mathew C Perry, yaitu bahwa negosiasi dengan Jepang harus didukung oleh unjuk kekuatan bersenjata. Jika Jepang tidak akan mengubah sikap dan kebijakannya.
Pada tahun 1853, Perry dan skuadronnya berangkat ke Jepang dengan empat kapal uap bersenjata lengkap dan berwarna hitam (dikenal dengan nama Block Ship). Mereka berlabuh di Edo (Tokyo awal) pada bulan Juli 1853. Sebelum berangkat, Perry membaca banyak buku tentang Timu Jauh, termasuk tentang era Tokugawa di Jepang, dan juga berkonsultasi dengan ahli Jepang berkebangsaan Jerman, Philipp Franz von Siebold, yang tinggal di Jepang selama 8 (delapan) tahun, persisnya di kanto dagang Belanda di Dejima, lalu kemudian ke Leiden, Belanda.
Pada waktu itu, Perry ditemui perwakilan dari Shogun Tokugawa, yang kemudian mengarahkannya untuk terus ke Nagasaki, satu-satunya pelabuhan yang terbuka untuk orang asing pada waktu itu. Perry menol memerintahkan pasukannya untuk mengarahkan senapan dan meriamnya ke kota kecil Uraga sekitar Edo. Perry kemudian meminta izin untuk menyerahkan surat dari Presiden Amerika Serikat (AS) pada waktu itu, serta mengancam akan menggunakan kekuatan bersenjata jika kapal-kapal Jepang di sekitar skuadron AS di sekitar teluk itu tidak membubarkan diri. Di Jepang, istilah "Kapal Hitam" kemudian menjadi simbol ancaman Amerika Serikat dan kedigdayaan teknologi Barat. Surat tersebut akhirnya diterima oleh perwakilan pemerintah shogun di Yokosuka (sekitar Edo) pada bulan Juli 1853, dan Perry menagih jawaban dari Jepang setelah ia kembali ke Amerika Serikat dalam ekspedisi kedua nanti.
Setelah keberhasilan Perry, Jepang membangun benteng pertahanan di sekitar Teluk Tokyo dalam rangka melindungi Edo dari kemungkinan serangan laut Amerika Serikat. Ketika Perry kembali ke Jepang pada bulan Februari tahun 1854 dengan kekuatan bersenjata dua kali lipat, Jepang telah menandatangani perjanjian yang pada intinya memenuhi semua tuntutan sebagaimana tertulis dalam surat Filimore.
Kebijakan Sakoku atau "negara tertutup" yang berlangsung selama dua seteng