E-commerce dan Peningkatan Perilaku Konsumtif: Sebuah Perspektif Remaj
Kemudahan berbelanja online memang membuat kita lebih mudah membeli barang. Namun, peningkatan perilaku konsumtif bukan semata-mata karena *e-commerce*. Ada faktor lain yang lebih besar perannya. Bayangkan, iklan *online* yang menarik dan *push notification* yang terus-menerus mengingatkan kita akan promo terbaru. Ini menciptakan dorongan untuk membeli, bahkan barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Akses 24/7 juga mempermudah pembelian impulsif. Selain itu, budaya konsumerisme modern mengajarkan kita bahwa kebahagiaan didapat dari memiliki banyak barang. *E-commerce* memperkuat hal ini dengan menyediakan platform yang mudah digunakan. Kita merasa memiliki lebih banyak barang akan meningkatkan kualitas hidup, sehingga gaya hidup materialistis semakin kuat. Media sosial juga berperan besar. *Influencer* dan teman-teman kita sering memamerkan barang baru mereka, menciptakan tekanan untuk mengikuti tren dan membeli barang serupa. Ini menciptakan siklus konsumsi yang berkelanjutan. Sistem kredit dan cicilan yang mudah didapat dari *e-commerce* juga memperparah masalah. Kita bisa membeli barang mahal tanpa harus membayar penuh di muka, membuat barang tersebut terasa lebih terjangkau. Akibatnya, kita mungkin kurang mengontrol pengeluaran dan melakukan pembelian impulsif tanpa memikirkan kebutuhan dan kemampuan finansial kita. Kesimpulannya, *e-commerce* memang mempermudah dan mempercepat proses konsumsi, tetapi bukan penyebab utamanya. Faktor budaya, psikologis, dan sosial jauh lebih berpengaruh. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meningkatkan literasi keuangan dan kesadaran akan dampak perilaku konsumtif agar kita bisa bijak dalam berbelanja *online*. Belajar mengatur keuangan dan menyadari bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dari jumlah barang yang kita miliki adalah kunci untuk menghindari jebakan konsumerisme. Dengan begitu, kita bisa memanfaatkan kemudahan *e-commerce* tanpa terjebak dalam siklus konsumsi yang tak berujung.